Rabu, 26/02/2003 07:30
KOBARKAN SEMANGAT "AA GYM" : FORMAT POLITIK
DAN ........
FORMAT POLITIK DAN KANTONG KOSONG
Persekutuan ataupun perseteruan para elit politik
bangsa menjadi semakin simpang baur, mana kawan siapa lawan, selain itu telah
memasuki kancah yang demikian bak open turnamen yang mengandalkan otot kawat
balung wesi - dan aturan mainnya adalah "tak ada aturan". Percaturan
politik di satu sisi, di sisi lainnya pertarungan ekonomi merupakan agenda
Reformasi menjelang Pemilu 2004. Sebelumnya, sewaktu jadi penonton para calon
politikus memang merakyat. Setelah minimal berkesempatan jadi Wakil Rakyat,
maka baju rakyat ditanggalkan, diganti dengan baju pejabat. Di lingkungan
pejabat ada lagu wajibnya dan sangat sulit untuk berimprofisasi kecuali untuk
kepentingan partai yang mengangkatnya. Ternyata dan senyatanya mereka ini bisa
lebih ganas dibanding pendahulunya. Apalagi kalau tidak loyal dan royal ke
partainya, bisa kandas ditengah jalan.
Perkembangan format politik di era Reformasi ini
menyebabkan ruang gerak politikus terbatas dan banyak rambu-rambunya, koridor
yang diliwati sudah baku dengan berbagai aturan main. Kendati sudah jamak untuk
menjadi kutu loncat, pindah atau gonta ganti partai. Sisi lain menyiratkan
bahwa budi pekerti politikus bisa ditarik benang merahnya, sejalan dengan kewajiban
yang tersirat dalam organisasi. Kata ahlinya, format politik di NKRI terbiasa
menstrukturkan politik dalam sistem atau pola sehingga politisi beralasan untuk
melupakan rakyat pemilihnya. Kenyataannya selama lima tahun rakyat dibutuhkan
suaranya hanya sehari saja, pada saat pencoblosan tanda gambar, selebihnya yang
bersuara terserah anda para wakil rakyat.
Format dan modus operandi politik sedemikian tadi
membuat rakyat tidak leluasa berhubungan timbal balik yang transaksional dengan
para politikus, khususnya para wakil rakyat, kecuali transaksi (aliran dana)
yang saling menguntungkan. Malah dalam suatu hunian perkotaan, warga tidak tahu
bahwa punya tetangga satu RT yang wakil rakyat. Wakil rakyat yang dipilih dalam
pemilu dengan ukuran closed-list proportional system untuk masa periode lima
tahun berdampak pada sang politisi tidak perlu mengakar pada rakyat.
Kedekatan dengan pengurus partainya lebih utama,
penting karena menjamin kursinya. Kemungkinan lain saat menjadi wakil rakyat
dibiarkan merekayasa modus operandi, semisal dalam mengambil berbagai keputusan
politis secara tertutup, yang seolah tak segaris dengan kebijakan partai.
Tiadanya transparansi ini menyebabkan politikus terbebas dari beban moral atas
semua langkah keputusan yang diambilnya. Kondisi ini menyiratkan problem utama
sistem politik kita, yaitu kerangka politik dibangun dengan asumsi yang
tradisional historis atas etika berpolitik.
Dalam asumsi tradisional historis ini, pelaku politik
dipandang steril dari nafsu ambisi pribadi dan suci hama dari virus kepentingan
partai. Penguasa negara yang identik ketua umum parpol dianggap akan mengayomi,
mengayemi; mengadilmakmurkan serta membangun sadar politik rakyatnya. Asumsi
ini terbangun ketika para pendiri negara dipengaruhi pandangan tradisional
tentang wewenang, berwenang, kewenangan, kesewenangan ataupun sewenang-wenang -
dalam hubungan rakyat dengan penguasa - saat awal menyusun format politik
Indonesia. Meski asumsi ini mungkin tidak disadari eksistensinya, tapi punya
efek membebaskan politikus dari tanggung jawab electoral-nya dari pemilu ke
pemilu. Ratusan partai politik bersiap diri ikut Pemilu 2004, ribuan kantong
kosong yang ditawarkan ke rakyat. Kerangka parpol model ini diibaratkan sebagai
tumpukan kantong kosong, bukan sebagai penampung aspirasi rakyat, tetapi lebih
berfungsi sebagai pundi-pundi yang siap diisi.
Fenomena ini mungkin sangat berbeda dengan ketika
pertama kali rakyat "Indonesia" mendirikan partai politik. Kebutuhan
akan parpol bersifat alami, berjuang dulu baru berkata, bukti dulu baru bicara,
fakta dulu baru berfatwa. Sadar politik rakyat dalam jajag pendapat masih
sekitar pandangan yang tradisional terhadap rentang politik dan politikus.
Politikus dibayangkan sebagai sosok tanpa cela, sebagai figur tanpa nafsu, sebagai
tokoh tanpa pamrih - walau masih jauh dari kategori pahlawan tanpa tanda jasa.
Rakyat masih menyimpan segudang asa tentang politikus sebagai sosok, figur atau
tokoh yang selalu memikirkan rakyat, dimanapun.
Asumsi ini menggiring rakyat untuk berkilah tentang
pemeo jauh panggung dari rakyat. Apakah parpol berikut politikusnya yang bisa
dan bebas melupakan rakyat ini merupakan fenomena Reformasi atau karena rakyat
telah mempunyai cara yang lebih aspiratif dengan unjuk raga dan sambung rasa di
jalanan. Senyampang dengan pandangan bahwa adakalanya sang pemegang kekuasaan
ingin mempertahankan kekuasaannya, dengan cara apapun. Penyelenggara negara
merupakan fungsi kekuasaan yang menjurus kearogansi kekuasaan, khususnya untuk
urusan dalam negeri. Eksploitasi kekuasaan bukan hal yang tabu secara yuridis,
terutama berkaitan dengan perjalanan ekonomi keluarga agar tidak kapiran tujuh
turunan. Apalagi kantong-kantong kosong masih melompong. (hn).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar