Halaman

Minggu, 17 Agustus 2014

FORMAT POLITIK DAN KANTONG KOSONG

Rabu, 26/02/2003 07:30
KOBARKAN SEMANGAT "AA GYM" : FORMAT POLITIK DAN ........

FORMAT POLITIK DAN KANTONG KOSONG

Persekutuan ataupun perseteruan para elit politik bangsa menjadi semakin simpang baur, mana kawan siapa lawan, selain itu telah memasuki kancah yang demikian bak open turnamen yang mengandalkan otot kawat balung wesi - dan aturan mainnya adalah "tak ada aturan". Percaturan politik di satu sisi, di sisi lainnya pertarungan ekonomi merupakan agenda Reformasi menjelang Pemilu 2004. Sebelumnya, sewaktu jadi penonton para calon politikus memang merakyat. Setelah minimal berkesempatan jadi Wakil Rakyat, maka baju rakyat ditanggalkan, diganti dengan baju pejabat. Di lingkungan pejabat ada lagu wajibnya dan sangat sulit untuk berimprofisasi kecuali untuk kepentingan partai yang mengangkatnya. Ternyata dan senyatanya mereka ini bisa lebih ganas dibanding pendahulunya. Apalagi kalau tidak loyal dan royal ke partainya, bisa kandas ditengah jalan.

Perkembangan format politik di era Reformasi ini menyebabkan ruang gerak politikus terbatas dan banyak rambu-rambunya, koridor yang diliwati sudah baku dengan berbagai aturan main. Kendati sudah jamak untuk menjadi kutu loncat, pindah atau gonta ganti partai. Sisi lain menyiratkan bahwa budi pekerti politikus bisa ditarik benang merahnya, sejalan dengan kewajiban yang tersirat dalam organisasi. Kata ahlinya, format politik di NKRI terbiasa menstrukturkan politik dalam sistem atau pola sehingga politisi beralasan untuk melupakan rakyat pemilihnya. Kenyataannya selama lima tahun rakyat dibutuhkan suaranya hanya sehari saja, pada saat pencoblosan tanda gambar, selebihnya yang bersuara terserah anda para wakil rakyat.

Format dan modus operandi politik sedemikian tadi membuat rakyat tidak leluasa berhubungan timbal balik yang transaksional dengan para politikus, khususnya para wakil rakyat, kecuali transaksi (aliran dana) yang saling menguntungkan. Malah dalam suatu hunian perkotaan, warga tidak tahu bahwa punya tetangga satu RT yang wakil rakyat. Wakil rakyat yang dipilih dalam pemilu dengan ukuran closed-list proportional system untuk masa periode lima tahun berdampak pada sang politisi tidak perlu mengakar pada rakyat.

Kedekatan dengan pengurus partainya lebih utama, penting karena menjamin kursinya. Kemungkinan lain saat menjadi wakil rakyat dibiarkan merekayasa modus operandi, semisal dalam mengambil berbagai keputusan politis secara tertutup, yang seolah tak segaris dengan kebijakan partai. Tiadanya transparansi ini menyebabkan politikus terbebas dari beban moral atas semua langkah keputusan yang diambilnya. Kondisi ini menyiratkan problem utama sistem politik kita, yaitu kerangka politik dibangun dengan asumsi yang tradisional historis atas etika berpolitik.

Dalam asumsi tradisional historis ini, pelaku politik dipandang steril dari nafsu ambisi pribadi dan suci hama dari virus kepentingan partai. Penguasa negara yang identik ketua umum parpol dianggap akan mengayomi, mengayemi; mengadilmakmurkan serta membangun sadar politik rakyatnya. Asumsi ini terbangun ketika para pendiri negara dipengaruhi pandangan tradisional tentang wewenang, berwenang, kewenangan, kesewenangan ataupun sewenang-wenang - dalam hubungan rakyat dengan penguasa - saat awal menyusun format politik Indonesia. Meski asumsi ini mungkin tidak disadari eksistensinya, tapi punya efek membebaskan politikus dari tanggung jawab electoral-nya dari pemilu ke pemilu. Ratusan partai politik bersiap diri ikut Pemilu 2004, ribuan kantong kosong yang ditawarkan ke rakyat. Kerangka parpol model ini diibaratkan sebagai tumpukan kantong kosong, bukan sebagai penampung aspirasi rakyat, tetapi lebih berfungsi sebagai pundi-pundi yang siap diisi.

Fenomena ini mungkin sangat berbeda dengan ketika pertama kali rakyat "Indonesia" mendirikan partai politik. Kebutuhan akan parpol bersifat alami, berjuang dulu baru berkata, bukti dulu baru bicara, fakta dulu baru berfatwa. Sadar politik rakyat dalam jajag pendapat masih sekitar pandangan yang tradisional terhadap rentang politik dan politikus. Politikus dibayangkan sebagai sosok tanpa cela, sebagai figur tanpa nafsu, sebagai tokoh tanpa pamrih - walau masih jauh dari kategori pahlawan tanpa tanda jasa. Rakyat masih menyimpan segudang asa tentang politikus sebagai sosok, figur atau tokoh yang selalu memikirkan rakyat, dimanapun.

Asumsi ini menggiring rakyat untuk berkilah tentang pemeo jauh panggung dari rakyat. Apakah parpol berikut politikusnya yang bisa dan bebas melupakan rakyat ini merupakan fenomena Reformasi atau karena rakyat telah mempunyai cara yang lebih aspiratif dengan unjuk raga dan sambung rasa di jalanan. Senyampang dengan pandangan bahwa adakalanya sang pemegang kekuasaan ingin mempertahankan kekuasaannya, dengan cara apapun. Penyelenggara negara merupakan fungsi kekuasaan yang menjurus kearogansi kekuasaan, khususnya untuk urusan dalam negeri. Eksploitasi kekuasaan bukan hal yang tabu secara yuridis, terutama berkaitan dengan perjalanan ekonomi keluarga agar tidak kapiran tujuh turunan. Apalagi kantong-kantong kosong masih melompong. (hn).


Tidak ada komentar:

Posting Komentar