Halaman

Rabu, 27 Agustus 2014

Reformasi 2014-2019 : Merasa Punya Sayap

Reformasi 2014-2019 : Merasa Punya Sayap
Oleh : Herwin Nur

Pawang Politik
Tukang survei sampai yang berkadar ahli survei, tidak ada yang berani mengatakan bahwa Reformasi dimulai dari puncaknya. Klimaks kekuatan rakyat turun ke jalan dan menduduki simbol negara MPR/DPR, 21 Mei 1998, presiden RI ke-2, bapak Suharto lengser keprabon. Terjadi peralihan rezim secara sistematis, masif dan berkelanjutan. Benang merahnya yaitu politik sebagai panglima. Demi politik, tujuan menghalalkan segala cara.

Tukang/ahli survei yang terbiasa menerima pesanan, lagi-lagi, tidak ada yang berniat mengungkap bahwa pada saat Pemilu 1999, rakyat merasa kasihan dan hiba kepada anak biologis dan yuridis preseiden pertama RI. Rakyat mengedepankan watak welas asih kepada pihak yang terdepak secara politis di era Orde Baru, walhasil 33,73% pemilih memilih PDIP.

Syahwat politik sudah merasuki industri politik 1999-2004. Ketua umum parpol pemenang Pemilu 1999, tidak otomatis jadi presiden, walau ambisinya sudah melampaui kapasitasnya. Pawang politik di MPR secara aklamasi, tepatnya akal-akalan demokrasi, mengangkat sekaligus menjatuhkan Gus Dur jadi presiden RI ke-4. Nasib baik memihak wapres maju jadi presiden RI ke-5. Semangat banteng ketaton (banteng terluka) yang hobi main serudak-seruduk, bermuka manis merasa pintar, tidak bisa menyembunyikan fakta dan realitas yang ada.

Sadar Politik
Pengamat politik berbagai aliran, tampil dengan gagah mengisi acara, adegan dan atraksi media penyiaran televisi. Mereka tampak ahli dan lihai mempermainkan kata, membolak-balik fakta, merekayasa data bagimana situasi dan cuaca politik terkini. Mereka lupa, rakyat awam, masyarakat buta politik, sudah tahu mana emas mana loyang. Diskusi, dialog dan debat berbasis politik, tak lebih dari pamer bego, unjuk ‘tulul’ (pakai istilah om Mario Teguh) bersaing dengan komidian kambuhan. Mereka hanya bermodal ucap dan cuap.

Rakyat yang buta politik, tidak tertipu dengan garangnya kucing dalam karung. Presiden dipilih langsung oleh masyarakat melalui Pilpres pertama 2004, semakin membuktikan bahwa rakyat hanya melihat siapa bisa berbuat apa. Bukan politik balas jasa, karena sudah terbukti dampaknya.

Modal pengalaman jadi wakil presiden dan sekaligus presiden dalam satu periode bukan jaminan rakyat akan memilihnya di Pilpres 2004. Bahkan semangat merasa bisa jadi pemimpin, mengulang kejadian Pilpres 2004 di Pilpres 2009. Sanjungan ayahnya yang mengatakan dia anak pintar, menjadikan logika politiknya tidak pintar, menghasilkan kalkulasi pilitiknya tidak pintar.

Dikotomi Politik
Sekali lagi, kawanan tukang/ahli survei, alumni dan lulusan PT internasional, tetap tabah tak mau menyelidiki maupun meyidik dampak presiden dari militer, SBY menjabat presiden RI ke-6 dua periode 2004-2009 dan 2009-2014 atau satu dekade. Entah ilmunya tidak mempan, mungkin nyalinya terkuras habis, atau bayarannya tak seimbang dengan resikonya, kawanan tukang/ahli survei lebih memilih pura-pura tidak peduli.

Terjadi revolusi trias politika, kubu legislatif yang 100% pekerja partai, tanpa malu dan sungkan menjadi dominan. Melebih eksekutif yang kendalikan pekerja partai dan dilengkapi kalangan proefsional. Mengambil alih wewenang yudikatif. Kinerja dan kiprah legislatif melebihi fungsinya sebagai legislasi.

SBY ditelikung dari dalam, kader Partai Demokrat, yang jauh dari budaya malu, melakukan tipikor. Kaum Hawa tidak mau ketinggalan langkah cepat kaya. Setan pun bingung karena merasa tidak membisiki mereka.

Ritual Politik
Ekonomi dan politik merupakan pasangan tidak resmi yang bisa menentukan nasib kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Pelaku ekonomi, walau lulusan universitas negara Paman Sam, semakin meyakinkan untuk terjebak dogma, doktrin dan dikte kemauan investor. Indonesia tidak mempunyai posisi tawar untuk menyeleksi masuknya barang bekas/buangan atau barang abal-abal, dengan dalih area perdagangan bebas.

Investor politik melirik Indonesia untuk kepentingan jangka panjang. Ada skenario standar/pesimis, moderat sampai ideal/optimis yang akan dipraktekkan. Kawanan parpolis, dengan platform nasional, agama atau gado-gado tidak mempunyai posisi tawar menyikapi Pemilu Rabu 9 April 2014, terlebih Pilpres Rabu 9 Juli 2014.

Entah yang ke berapa kali, kawanan tukang/ahli survei, tidak merinci kelompok masyarakat seperti apa yang menjadi pemilih, tidak mau jadi golput. Mengacu serial TV di zaman Orde Baru, khususnya super hero, yang tokohnya wanita. Kaum Hawa, yang bukan minoritas di tanah air, merasa terwakili oleh kedigdayaan sang jago (padahal wanita).

Stigma uneducated people yang diterapkan kepada pemilih Prof.Dr. Haji Rhoma Irama saat Pemilu 9 April 2014, apakah juga berlaku pada pemilih Pilpres 9 Juli 2014. Banyak lapisan masyarakat, wong cilik, merasa terwakili oleh jagoannya yang gemar blusukan.

Secara sadar dan nyata, arah politik Nusantara, bahasa gaulnya politik luar negeri maupun politik dalam negeri, telah keblusuk ke skenario investor politik. Trik dan intrik politik jelang sumpah jabatan RI-1 dan RI-2 sudah membuktikan bahwa banyak pihak di dua kubu yang merasa punya sayap. Belum-belum politik transaksional sudah tertebak aromanya. Semua merasa punya andil.

Jika penguasa tunggal Orde Baru lihai memanfaatkan orang pintar masuk jajaran pembantu presiden. SBY dimanfaatkan oleh orang yang pandai-pandai tampil diri bagaikan emas (padahal loyang). Maka di periode 2014-2019 banyak orang yang pandai-pandai membawa diri dengan tidak memerankan dirinya sendiri. Mengacu ramalan leluhur bahwa suatu saat akan terjadi naunsa kere munggah bale.

Kita tetap optimis, karena hidup adalah proses, tidak sekedar mengalir, kita mengacu sebagian terjemahan [QS Ar Ra’d  (13) : 11] : Sesungguhnya Allah tidak merubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri.


Bukan berarti di panggung politik tidak mengenal kalah atau menang. Kita yakin lima tahun ke depan bukan milik kita, adalah hak generasi mendatang.  [HaeN].

Tidak ada komentar:

Posting Komentar