Reformasi 2014-2019 : Merasa Punya Sayap
Oleh : Herwin Nur
Pawang Politik
Tukang survei sampai yang berkadar ahli survei, tidak
ada yang berani mengatakan bahwa Reformasi dimulai dari puncaknya. Klimaks
kekuatan rakyat turun ke jalan dan menduduki simbol negara MPR/DPR, 21 Mei
1998, presiden RI ke-2, bapak Suharto lengser keprabon. Terjadi
peralihan rezim secara sistematis, masif dan berkelanjutan. Benang merahnya
yaitu politik sebagai panglima. Demi politik, tujuan menghalalkan segala cara.
Tukang/ahli survei yang terbiasa menerima pesanan,
lagi-lagi, tidak ada yang berniat mengungkap bahwa pada saat Pemilu 1999,
rakyat merasa kasihan dan hiba kepada anak biologis dan yuridis preseiden
pertama RI. Rakyat mengedepankan watak welas asih kepada pihak yang
terdepak secara politis di era Orde Baru, walhasil 33,73% pemilih memilih PDIP.
Syahwat politik sudah merasuki industri politik
1999-2004. Ketua umum parpol pemenang Pemilu 1999, tidak otomatis jadi
presiden, walau ambisinya sudah melampaui kapasitasnya. Pawang politik di MPR
secara aklamasi, tepatnya akal-akalan demokrasi, mengangkat sekaligus
menjatuhkan Gus Dur jadi presiden RI ke-4. Nasib baik memihak wapres maju jadi
presiden RI ke-5. Semangat banteng ketaton (banteng terluka) yang hobi
main serudak-seruduk, bermuka manis merasa pintar, tidak bisa menyembunyikan
fakta dan realitas yang ada.
Sadar Politik
Pengamat politik berbagai aliran, tampil dengan gagah
mengisi acara, adegan dan atraksi media penyiaran televisi. Mereka tampak ahli
dan lihai mempermainkan kata, membolak-balik fakta, merekayasa data bagimana
situasi dan cuaca politik terkini. Mereka lupa, rakyat awam, masyarakat buta
politik, sudah tahu mana emas mana loyang. Diskusi, dialog dan debat berbasis
politik, tak lebih dari pamer bego, unjuk ‘tulul’ (pakai istilah om Mario
Teguh) bersaing dengan komidian kambuhan. Mereka hanya bermodal ucap dan cuap.
Rakyat yang buta politik, tidak tertipu dengan
garangnya kucing dalam karung. Presiden dipilih langsung oleh masyarakat
melalui Pilpres pertama 2004, semakin membuktikan bahwa rakyat hanya melihat
siapa bisa berbuat apa. Bukan politik balas jasa, karena sudah terbukti
dampaknya.
Modal pengalaman jadi wakil presiden dan sekaligus
presiden dalam satu periode bukan jaminan rakyat akan memilihnya di Pilpres
2004. Bahkan semangat merasa bisa jadi pemimpin, mengulang kejadian Pilpres
2004 di Pilpres 2009. Sanjungan ayahnya yang mengatakan dia anak pintar,
menjadikan logika politiknya tidak pintar, menghasilkan kalkulasi pilitiknya
tidak pintar.
Dikotomi Politik
Sekali lagi, kawanan tukang/ahli survei, alumni dan
lulusan PT internasional, tetap tabah tak mau menyelidiki maupun meyidik dampak
presiden dari militer, SBY menjabat presiden RI ke-6 dua periode 2004-2009 dan
2009-2014 atau satu dekade. Entah ilmunya tidak mempan, mungkin nyalinya
terkuras habis, atau bayarannya tak seimbang dengan resikonya, kawanan
tukang/ahli survei lebih memilih pura-pura tidak peduli.
Terjadi revolusi trias politika, kubu legislatif yang
100% pekerja partai, tanpa malu dan sungkan menjadi dominan. Melebih eksekutif
yang kendalikan pekerja partai dan dilengkapi kalangan proefsional. Mengambil
alih wewenang yudikatif. Kinerja dan kiprah legislatif melebihi fungsinya
sebagai legislasi.
SBY ditelikung dari dalam, kader Partai Demokrat, yang
jauh dari budaya malu, melakukan tipikor. Kaum Hawa tidak mau ketinggalan
langkah cepat kaya. Setan pun bingung karena merasa tidak membisiki mereka.
Ritual Politik
Ekonomi dan politik merupakan pasangan tidak resmi
yang bisa menentukan nasib kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Pelaku ekonomi, walau lulusan universitas negara Paman Sam, semakin meyakinkan
untuk terjebak dogma, doktrin dan dikte kemauan investor. Indonesia tidak
mempunyai posisi tawar untuk menyeleksi masuknya barang bekas/buangan atau
barang abal-abal, dengan dalih area perdagangan bebas.
Investor politik melirik Indonesia untuk kepentingan
jangka panjang. Ada skenario standar/pesimis, moderat sampai ideal/optimis yang
akan dipraktekkan. Kawanan parpolis, dengan platform nasional, agama atau
gado-gado tidak mempunyai posisi tawar menyikapi Pemilu Rabu 9 April 2014,
terlebih Pilpres Rabu 9 Juli 2014.
Entah yang ke berapa kali, kawanan tukang/ahli survei,
tidak merinci kelompok masyarakat seperti apa yang menjadi pemilih, tidak mau
jadi golput. Mengacu serial TV di zaman Orde Baru, khususnya super hero, yang
tokohnya wanita. Kaum Hawa, yang bukan minoritas di tanah air, merasa terwakili
oleh kedigdayaan sang jago (padahal wanita).
Stigma uneducated people yang diterapkan kepada
pemilih Prof.Dr. Haji Rhoma Irama saat Pemilu 9 April 2014, apakah juga berlaku
pada pemilih Pilpres 9 Juli 2014. Banyak lapisan masyarakat, wong cilik, merasa
terwakili oleh jagoannya yang gemar blusukan.
Secara sadar dan nyata, arah politik Nusantara, bahasa
gaulnya politik luar negeri maupun politik dalam negeri, telah keblusuk
ke skenario investor politik. Trik dan intrik politik jelang sumpah jabatan
RI-1 dan RI-2 sudah membuktikan bahwa banyak pihak di dua kubu yang merasa
punya sayap. Belum-belum politik transaksional sudah tertebak aromanya. Semua
merasa punya andil.
Jika penguasa tunggal Orde Baru lihai memanfaatkan
orang pintar masuk jajaran pembantu presiden. SBY dimanfaatkan oleh orang yang
pandai-pandai tampil diri bagaikan emas (padahal loyang). Maka di periode
2014-2019 banyak orang yang pandai-pandai membawa diri dengan tidak memerankan
dirinya sendiri. Mengacu ramalan leluhur bahwa suatu saat akan terjadi naunsa kere
munggah bale.
Kita tetap optimis, karena hidup adalah proses, tidak
sekedar mengalir, kita
mengacu sebagian terjemahan [QS Ar Ra’d (13) : 11] : “Sesungguhnya Allah tidak merubah keadaan
sesuatu kaum sehingga mereka merubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri.”
Bukan berarti di
panggung politik tidak mengenal kalah atau menang. Kita yakin lima tahun ke
depan bukan milik kita, adalah hak generasi mendatang. [HaeN].
Tidak ada komentar:
Posting Komentar