toleransi seremonial di Bumi Cenderawasih
Peribahasa “lempar batu sembunyi
tangan” yang
menurut KBBI adalah melakukan sesuatu (kegiatan dsb), tetapi kemudian berdiam
diri seolah-olah tidak tahu-menahu; [pb] berbuat kurang baik kpd orang, lalu
berpura-pura tidak tahu, kalau diterapkan di zaman sekarang, bisa
ketinggalan zaman. Bahkan jargon “undang-undang dibuat untuk
dilanggar” sudah berlaku lumrahdan umum.
Menu yang digemari orang adalah “yang ingin sepakat
justru yang berkhianat”. Artinya
ada pihak yang gembar-gembor merasa dizalimi atau sebutan lainnya, sampai
membuat maklumat di atas kertas, menyusun pernyataan di atas kertas tidak akan
berbuat sesuatu yang merugikan pihak lain, mempoisisikan diri sebagai pihak
yang baik dan yang benar, ternyata justru ybs malah yang berbuat. Secara sadar,
formal dan yuridis pihak ini mengkhianati dirinya sendiri. Tidak sekedar
menjilat ludah sendiri.
Fakta sejarah kita mengacu berita
di beberapa situs :
“Kemendagri Insiden Tolikara Tak Terkait Perda Khusus
Papua”
http://www.cnnindonesia.com/nasional/20150720110347-20-67236/kemendagri-insiden-tolikara-tak-terkait-perda-khusus-papua/
Hafizd
Mukti, CNN Indonesia
Senin, 20/07/2015
11:03 WIB
Umat Islam saat
melaksanakan salat tarawih di Masjid Al-Furqon, Distrik Mimika Baru, Timika,
Papua, Rabu (17/6). (Antara Foto/Spedy Paereng)
Jakarta, CNN Indonesia -- Kementerian Dalam Negeri
(Kemendagri) tengah menyelidiki kasus kerusuhan di Karubaga, Kabupaten
Tolikara, Papua saat perayaan Idul Fitri, 17 Juli 2015 lalu. Meski menyangkut
sentimen antar agama, kemendagri membantah jika kerusuhan pecah akibat adanya
aturan daerah di Papua.
"Perda khusus di Papua tidak ada yang diberlakukan berdasarkan agama.
Mayoritas di Papua jika itu diberlakukan akan ada benturan dengan pemeluk agama
lain," kata Kepala Pusat Penerangan Kemendagri Dodi Riatmadji kepada CNN
Indonesia, Senin (20/7).
Menurutnya, Papua sebagai daerah khusus atau istimewa sama dengan Aceh dan juga
Yogyakarta. Namun, kekhususan setiap daerah berbeda-beda tergantung dengan
sejarah, situasi dan kondisinya.
"Kalau di Aceh itu memang secara sejarah terkait agama, dan kalau di Papua
diberlakukan juga soal agama itu malah lucu."
Dari hasil investigasi sementara yang dilakukan pihak Kemendagri, Dodi
mengatakan, apa yang terjadi di Papua lebih bersifat dominasi kelompok
mayoritas terhadap kelompok minoritas. Pasalnya, jika merujuk perda, tidak ada
aturan yang melarang kegiatan agama manapun.
dst
- -
- - - - - - -
Sebagai pembanding dan
penyanding, beberapa hari sebelum tragedi Tolikara telah dipersiapkan
pernyataan, sepakat sepihak, maklumat :
http://majalahselangkah.com/content/pernyataan-75-imam-katolik-tanah-papua-diapresiasi
Jayapura, MAJALAH SELANGKAH -- Sebanyak
75 imam Katolik dari lima keuskupan di Papua meminta pemerintah mengatasi dan
mencegah terulangnya kekerasan di Tanah Papua pada masa depan dan mengutamakan
dialog sebagai sarana terbaik menemukan solusi atas persoalan di Tanah Papua.
Pernyataan yang diterima majalahselangkah.com, Rabu (15/7/2015)
kemarin, terdiri dari 8 poin dan telah ditandatangani oleh Unio Keuskupan Agung
Merauke Romo Diosisan (RD) Niko Jumari JK, Unio Keuskupan Agats RD. Abraham
Nusmese, Unio Keuskupan Timika RD. Dominikus Dulione Hodo, Unio Keuskupan Manokwari-Sorong,
RD. Izaak Bame dan Unio Keuskupan Jayapura RD Neles Tebay.
Berikut delapan poin pernyataan tersebut.
Pertama, Pemerintah berhasil membangun gedung-gedung sekolah, baik untuk
Sekolah Dasar (SD), Sekolah Menengah Pertama (SMP), maupun Sekolah Menengah
Umum (SMU), dari kota hingga kampung-kampung terpencil dan terisolir. Sekalipun
demikian, kami sungguh merasa prihatin dengan situasi pendidikan di mana
pembangunan gedung sekolah kurang diikuti oleh proses belajar-mengajar di ruang
kelas.
Secara jujur kami mengakui bahwa proses pendidikan dari tingkat SD hingga SMU,
terutama yang berada di kampung-kampung yang mayoritas muridnya adalah orang
Papua, tidak berjalan lancar. Anak-anak asli Papua sangat kurang mendapatkan
pelajaran yang menjadi haknya oleh karena kelalaian dari para guru. Banyak anak
asli Papua diluluskan dari ujian SD, sekalipun tidak bisa membaca dan menulis.
Kami sedih karena hal ini sudah terjadi selama bertahun-tahun. Dan kami tidak
bisa menerima situasi dan kenyataan ini, karena jelas-jelas merupakan
pembiaran, penipuan, pembodohan, dan pembunuhan karakter.
Kedua, Kami
menyaksikan pemerintah berhasil mendirikan banyak gedung untuk pelayanan
kesehatan di berbagai tempat, termasuk kampung-kampung terisolir. Sekalipun
demikian, kami mengamati bahwa kondisi kesehatan yang dialami rakyat Papua amat
sangat memprihatinkan. Sambil mengakui adanya banyak masalah di bidang
kesehatan, kami sungguh prihatin dengan penyebaran HIV dan AIDS, minuman keras
(miras), narkoba, yang tetap dan terus mengancam eksistensi orang asli Papua.
Ketiga, dalam masa Otonomi Khusus ini, dibuat sejumlah pemekaran Kabupaten.
Banyak orang menjadi pejabat. Kami secara khusus berbangga terhadap semua
pejabat orang asli Papua yang menjadi pimpinan daerah seperti bupati dan
gubernur serta pejabat-pejabat di berbagai instansi pemerintahan. Kami menaruh
harapan yang lebih kepada mereka agar membuat program yang kena sasaran sesuai
keadaan rakyat dan mampu menjadi teladan serta memberikan contoh yang baik
kepada para pegawai lainnya.
Keempat, Kami melihat adanya ketidakadilan ekonomi, sosial,
budaya, dan politik di Tanah Papua. Kami merasa prihatin dengan berbagai
tindakan kekerasan yang terjadi di Bumi Cenderawasih. Kekerasan dibalas dengan
kekerasan. Dan bahwa semua kekerasan ini menghambat pembangunan, mengusik
perdamaian, dan melukai hati dan batin banyak orang.
Kelima, Kami menyaksikan bahwa hak-hak dasar masyarakat adat
Papua kurang dihargai dan lingkungan hidup yang diciptakan Tuhan dihancurkan
demi pembangunan dan eksploitasi Sumber Daya Alam (SDA).
Keenam, Kami menyaksikan berbagai bentuk pelanggaran Hak-hak
Asasi Manusia (HAM), seperti yang terjadi di Enarotali , Kabupaten Paniai,
tanggal 8 Desember 2014, di mana empat orang tewas tertembak dan 17 orang
menderita luka tembak. Martabat kemanusiaan tidak dihargai. Hak-hak
kewarganegaraan tidak dihormati, sekalipun dijamin oleh Konstitusi.
Ketujuh, Kami menyaksikan bahwa kecurigaan dan
ketidakpercayaan mewarnai hubungan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah
Daerah, Pemerintah Pusat dan orang Asli Papua, antara aparat keamanan TNI-Polri
dan rakyat Papua, antara orang asli Papua dan warga Papua yang berasal dari
luar Tanah Papua. Kami mengamati dan merasakan bahwa jumlah penduduk yang masuk
ke Tanah Papua semakin hari semakin tinggi.
Mereka berasal provinsi dan kelompok etnis yang berbeda dan menetap di semua
ibu kota kabupaten di seluruh tanah Papua. Jumlah mereka bertambah secara
cepat, maka apabila Pemerintah Daerah tidak melakukan pengendalian
kependudukan, maka jumlah warga Papua yang datang dari luar Tanah Papua
melampaui jumlah orang asli Papua, seperti yang sudah terjadi di Kota Jayapura,
Merauke, Timika, Nabire, Manokwari, dan Sorong. Mobilisasi penduduk yang tak
terkendali ini akan mempengaruhi komposisi penduduk Tanah Papua, yang membuat
orang asli Papua menjadi minoritas di atas tanah leluhurnya, dan berdampak pada
kehidupan politik.
Kedelapan, Kami mengamati bahwa hukum tidak ditegakkan secara tegas di Bumi
Cenderawasih. Pengalaman memperlihatkan bahwa hukum dalam penerapannya tajam ke
bawah dan tumpul ke atas. Kami merasa heran karena pegawai yang meninggalkan
tempat tugas bertahun-tahun lamanya tidak pernah diberikan sanksi apa pun.
Apresiasi
Amandus, seorang tokoh Katolik dari Dogiyai mengapresiasi pernyataan para imam
ini.
"Saya tokoh Katolik. Para
pastor bicara benar. Itu yang terjadi di tanah kami. Kami minta Jakarta buka
diri untuk dialog, tetapi tidak pernah. Sekarang gereja harus bicara,"
kata dia.
Ketua Dewan Adat Meepago,
Oktovianus Pekey menilai apa yang dilakukan para imam Katolik adalah terobosan
baru dalam tanggapi persoalan di Tanah Papua.
"Terobosan baru, karena selama ini Orang Papua menunggu kapan Gereja
Katolik berbicara atas berbagai persoalan di Papua yang tentu merupakan penderitaan
umat," kata Pekey.
Matias, seorang Diakon Katolik di
Nabire menilai, apa yang dilakukan para imam ini adalah yang seharusnya gereja
lakukan. "Gereja harus bersuara atas kondisi umatnya. Saya kira hal ini
terus harus dilakukan," ujarnya. (Joni Yohanes Pekei/Admin/MS)
- -
- - - - - - -
Ulasan
di atas, memang berbahan baku utama berdasar peran media massa. Tak ada kaitannya
dengan cuplikan berita :
Penulis : Admin MS | Minggu, 21 Juni 2015
14:28 Dibaca : 1080 Komentar :
Kantor MRP. Foto: Ist.
HIMBAUAN
MAJELIS RAKYAT PAPUA MENGENAI KEPUTUSAN MAJELIS RAKYAT PAPUA NOMOR 11/MRP/2015
TENTANG REKOMENDASI DAN RESOLUSI MAJELIS RAKYAT PAPUA TENTANG PERLINDUNGAN HAK
KONSTITUSIONAL ORANG ASLI PAPUA DALAM PEMILIHAN GUBERNUR/WAKIL GUBERNUR,
BUPATI/WAKIL BUPATI, DAN WALIKOTA/WAKIL WALIKOTA DI PROVINSI PAPUA.
Keputusan MRP No.11/MRP/2015, Menolak Calon Kepala Daerah dan Wakil Bukan Orang
Asli Papua.
Majelis Rakyat Papua dalam Rapat Pleno yang dilaksanakan pada tanggal 16
Juni 2015 telah menetapkan Keputusan Majelis Rakyat Papua Nomor 11/MRP/2015
tentang Rekomendasi dan Resolusi Majelis Rakyat Papua tentang Perlindungan Hak
Konstitusional Orang Asli Papua dalam Pemilihan Gubernur/Wakil Gubernur,
Bupati/Wakil Bupati, dan Walikota/Wakil Walikota di Provinsi Papua. Keputusan
ini dilakukan dalam rangka pelaksanaan tugas dan wewenang Majelis Rakyat Papua
sebagai lembaga representasi perwakilan orang asli Papua yang melindungi
hak-hak dasar orang asli Papua sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Otonomi
Khusus Papua.
dst
Resolusi:
1. Yang berhak mencalonkan dan dicalonkan sebagai calon Gubernur/Wakil
Gubernur, Bupati/Wakil Bupati dan Walikota/Wakil Walikota di Provinsi Papua
adalah Orang Asli Papua yang ayah dan ibunya berasal dari rumpun ras Melanesia
suku-suku asli di Papua.
2. Menolak calon Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati, dan
Walikota/Wakil Walikota yang bukan orang asli Papua sebagaimana dimaksud pada
poin 1 (satu).
Majelis Rakyat Papua mendesak Pemerintah dan semua pihak terkait untuk sungguh-sungguh
memperhatikan dan melaksanakan secara taat asas Keputusan Majelis rakyat Papua
ini demi tegaknya Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan negara hukum
demokrasi Pancasila yang berkewajiban dan bertanggungjawab untuk melindungi
hak-hak orang asli Papua sebagai warga negara Indonesia.
Jayapura, 16 Juni 2015
MAJELIS RAKYAT PAPUA
KETUA,
TIMOTIUS MURIB
- -
- - - - - - -
[HaeN]