Halaman

Jumat, 04 September 2015

dilema pekerja/buruh, unsur asing vs kandungan lokal

dilema pekerja/buruh, unsur asing vs kandungan lokal

Jika unsur manajemen (man, money, methods, material and market) yang ada di industri Nusantara - atau yang menyewa lokasi di Nusantara - didominasi unsur asing, maka lowongan kerja yang tersisa, walau tanpa persyaratan administrasi formal apalagi kualifikasi khusus, tetap tidak akan bisa dipehuhi oleh pekerja/buruh lokal. Pengusaha/pemilik modal mengutamakan pasokan tenaga kerja dari negaranya, bahkan sampai “barisan pagar betis”. Entah alasan etos kerja, penguasaan bahasa internasional, yang siap perintah dan siap kerja, yang tidak ahli menuntut, postur tubuh maupun warna kulit atau alasan teknis yang nampak akademis.

Misal industri hasil kerja sama, kesepakatan bagi keuntungan, apalagi yang beroperasi dari hulu sampai hilir, menyangkut kebutuhan primer manusia atau gengsi, gaul dan gaya hidup manusia - atau apapun istilah kerennya - syarat administrasi formal, rekam jejak, pengalaman profesional, nilai jual pelamar calon pekerja/buruh menjadi pertimbangan utama / faktor penentu, maka riwayatnya akan lain. Walau langka, pekerja/buruh bisa mempunyai posisi tawar. Artinya dicari tenaga kerja yang bisa membengkakkan dan menggelembungkan keuntungan dan laba perusahaan.

Andai industri Nusantara mengandalkan dan mengutamakan kandungan lokal unsur manajemennya, dengan mahzab tradisional, seperti industri rumah tangga, usaha sampingan ibu rumga, koperasi maju mundur, pengerajin, maupun UKM  berorientasi ekspor. Akibat taat asas perdagangan bebas dunia, kerja sama ekonomi ASEAN-Tiongkok, dampaknya pengadaan bahan baku yang paling sederhana pun harus tergantung belas kasihan pihak aseng/asing. Kondisi ini menjadikan industri lokal menjadi mati suri, hidup segan mati tak mau, bisa MPP (mati pelan-pelan). Pengusaha pribumi bisa gulung tikar secara sistematis, masif, berkelanjutan. Tanpa mengalami penyegelan. Tanpa dukungan kepastian hukum. Tanpa perlu PHK. Antar pengusaha dan pekerja/buruh terjadi “tahu saling tahu”.

Jangan lupa, terkadang antara pekerja/buruh dengan wakil rakyat di Senayan terdapat persamaan mendasar, yaitu sama-sama ‘ahli menuntut’. Bedanya, wakil rakyat terikat kontrak politik lima tahun. Pekerja/buruh siap putus kontrak (PHK) kapan pun.

Tiap Hari Buruh Dunia, 1 Mei,  atau seperti gerakan 1 September 2015, tuntutan pekerja/buruh dipenuhi oleh pengusaha, melalui kebijakan Pemerintah maupun pemerintah provinsi, dan pemerintah kabupaten/kota, tak ayal pepatah Jawa: “uwis dike'i ati isih ngrogoh rempela” akan berlaku. Hebatnya, pekerja/buruh mempunyai ILO (International Labour Organisation), punya payung hukum, punya “presiden” konfederasi serikat pekerja/serikat buruh, punya menteri, punya wakil rakyat. Kurang apa lagi.  [HaeN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar