dilema
pekerja/buruh, unsur asing vs kandungan lokal
Jika
unsur manajemen (man, money, methods, material and market) yang ada di
industri Nusantara - atau yang menyewa lokasi di Nusantara - didominasi unsur
asing, maka lowongan kerja yang tersisa, walau tanpa persyaratan administrasi formal
apalagi kualifikasi khusus, tetap tidak akan bisa dipehuhi oleh pekerja/buruh
lokal. Pengusaha/pemilik modal mengutamakan pasokan tenaga kerja dari negaranya,
bahkan sampai “barisan pagar betis”. Entah alasan etos kerja, penguasaan bahasa
internasional, yang siap perintah dan siap kerja, yang tidak ahli menuntut,
postur tubuh maupun warna kulit atau alasan teknis yang nampak akademis.
Misal
industri hasil kerja sama, kesepakatan bagi keuntungan, apalagi yang beroperasi
dari hulu sampai hilir, menyangkut kebutuhan primer manusia atau gengsi, gaul
dan gaya hidup manusia - atau apapun istilah kerennya - syarat administrasi
formal, rekam jejak, pengalaman profesional, nilai jual pelamar calon pekerja/buruh
menjadi pertimbangan utama / faktor penentu, maka riwayatnya akan lain. Walau
langka, pekerja/buruh bisa mempunyai posisi tawar. Artinya dicari tenaga kerja
yang bisa membengkakkan dan menggelembungkan keuntungan dan laba perusahaan.
Andai
industri Nusantara mengandalkan dan mengutamakan kandungan lokal unsur
manajemennya, dengan mahzab tradisional, seperti industri rumah tangga, usaha
sampingan ibu rumga, koperasi maju mundur, pengerajin, maupun UKM berorientasi ekspor. Akibat taat asas perdagangan
bebas dunia, kerja sama ekonomi ASEAN-Tiongkok, dampaknya pengadaan bahan
baku yang paling sederhana pun harus tergantung belas kasihan pihak aseng/asing.
Kondisi ini menjadikan industri lokal menjadi mati suri, hidup segan mati tak
mau, bisa MPP (mati pelan-pelan). Pengusaha pribumi bisa gulung tikar secara
sistematis, masif, berkelanjutan. Tanpa mengalami penyegelan. Tanpa dukungan
kepastian hukum. Tanpa perlu PHK. Antar pengusaha dan pekerja/buruh terjadi “tahu
saling tahu”.
Jangan
lupa, terkadang antara pekerja/buruh dengan wakil rakyat di Senayan terdapat
persamaan mendasar, yaitu sama-sama ‘ahli menuntut’. Bedanya,
wakil rakyat terikat kontrak politik lima tahun. Pekerja/buruh siap putus
kontrak (PHK) kapan pun.
Tiap
Hari Buruh Dunia, 1 Mei, atau seperti
gerakan 1 September 2015, tuntutan pekerja/buruh dipenuhi oleh pengusaha,
melalui kebijakan Pemerintah maupun pemerintah provinsi, dan pemerintah
kabupaten/kota, tak ayal pepatah Jawa: “uwis dike'i ati isih ngrogoh rempela”
akan berlaku. Hebatnya, pekerja/buruh mempunyai ILO (International Labour Organisation),
punya payung hukum, punya “presiden” konfederasi serikat pekerja/serikat buruh, punya menteri, punya wakil rakyat. Kurang apa lagi. [HaeN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar