Halaman

Kamis, 31 Januari 2019

Ketahanan Pancasila dan Ideologi Impor


Ketahanan Pancasila dan Ideologi Impor

Pihak penetap pasal anti-Pancasila sudah mempertimbahkan faktor asas ‘ada asap ada api’. Kemungkinan paling pahit yaitu antisipasi akibat kesenjangan politik. Konflik sosial secara UU pun sudah menjelaskan penyebab pertama adalah politik.

Hukum nasional tidak mengenal kejahatan politik. Tindakan politik berbasis kaidah konstitusi tidak bisa dipidanakan. Kenakalan politik yang dilakukan simpatisan, relawan sebuah partai politik, hanya masuk kategori kenakalan remaja.

Sila-sila Pancasila digali, dirumuskan dari kehidupan sehari-hari rakyat. Maka pihak yang jauh dari rakyat berpotensi menanggalkan kadar, berpeluang besar meninggalkan bobot kepancasilaaannya secara terstrukur, hirarkis, menerus.

Pancasila sebagai ideologi negara. NKRI bagian dunia, terbuka terhadap pasar bebas. Arus global siap masuk 24 jam tanpa permisi. Bebas saringan, filter, karantina. Daya cegah tangkal anak bangsa pribumi tergantung sistem panutan. Prostitusi politik daring menjadi babakan kehidupan nyata. Kian menyengat ketika politik menjadi agama. [HaéN]

interaksi aktif olah kata dengan pangkas kalimat


interaksi aktif olah kata dengan pangkas kalimat

Hantu kecerdasan buatan, pikiran hafalan, omongan semu atau dalil lain sejenis. Belum mewabah sudah menghantui anak bangsa pribumi. Takut dengan bayangan sendiri. Tidak takut dengan sosok lain. Asal banyak temannya dan konstitusional.

Ramuan ajaib revolusi mental menambah deretan lelucon politik. Yang mana, dimana kenakalan remaja taka da hubungan diplomatis dengan kejahatan politik.

Di negara yang menendang bola sudah menjadi kebangaan bangsa dan negara. Tindak anarkis pendukung bisa merugikan timnas. Sanksi laga tanpa penonton. Jangan bandingkan dengan budaya politik Nusantara. Kader terjerat OTT KPK, bisa dibela atau malah dipecat. Padahal punya hak nyaleg.

Bukan itu maksud kata. Tindakan anarkis simpatisan, relawan sebuah parpol yang memang model anarkis, diluar tanggung jawab partai. Beda dengan petugas partai. Jelas-jelas sang oknum bukan kader tulen.

Model Presiden Kedua RI, yang menggunakan sekber golkar sebagai kendaraan politik. Parpol tidak punya jago. Sarat jago kandang. Ideologi saja harus asupan gizi, nutrisi impor. Status global mendongkrak pamor yang tinggal segitu-gitunya. Menang kemasan, merk dan silsilah.

Rasanya, narasi pembuka jauh dari judul.

Sabar. Itulah yang dikendaki alam bebas. Pemansan diri agar tak cepat bosan, loyo dan gagal saham, gagal paham.

Ragam bahasa diyakini seusai disiplin ilmu profesi. Itu jadul. Ketika alam menjadi acuan, sumber ayat. Bahasa tubuh tak mampu memanipulasi watak diri. Haus ilmu akan tergurat di wajah. Seolah tampak tak ada apa-apanya. Biasa-biasa saja tanpa keanehan yang aneh. Daya serap, saring di atas rata-rata.

Menghasilkan kata bijak. menghadirkan kalimat hasil proses hati dan akal. [HaéN]

menulis, menambah daya ingat vs mengurangi beban ingatan


menulis, menambah daya ingat vs mengurangi beban ingatan

Pernah kutiliskan. Judul, tema, kalimat atau alenia. Atau malah menjadi pekerjaan yang terhutang manis. Hubungan harmonis antara ahli bertutur dengan lihai berbahasa tulis. Menembus batas kejadian perkara.

Mendengar orang bicara, bisa menebak arah mudik nalarnya. Lawan dialog hobi tari bibir, bikin kepala mual. Kisah tak sampai. Belum berucap namun tangan sudah berkata, tanda bijak. Mau buka mulut, malah senyum. Lebih mulia jadi pendengar tambah tambah dosa kedua belah pihak.

Akhirnya, walau masih dalam proses lama. Jauh dari pengakhiran. Bahasa sederhananya, di akhir tlisan muncul ide, timbul judul untuk kesempatan nanti-nanti. Disinilah, pasal memori diuji. Tafakur, iktikaf di masjid doa, dzikir, shalawat. Efek samping, berdialog dengan diri sendiri. Menguji tata kalimat yang siap saji dan sarat nikmat.
  
Kompromi dengan kata hati. Membka diri terhadap perlambang alam. Kuping mendengar kata orang, terasa mengusik khazanah diri. Seperti dituntun untuk berbahasa yang bukan hafalan. Mendaur ulang karya tulis sendiri.

Percepatan memulai atau mengakhiri tulisan. Merekaysa alenia narasi tetangga. Sesuaikan dengan subtansi yang akan ditampilkan. Bisa ada substansi andalan. Dilengkapi dengan bumbu kata. Atau diperkaya dengan subtansi sejenis untuk menambah wawasan.

Jadi, menulis itu bisa dengan membeberkan substansi secara horizontal. Mencara padanan kata, istilah agar tak membosankan. Karena menulis butuh ilmu. Maka karya tulis wajib bak sumber ilmu atau sebagai ilmu.

Pasangan, imbangan di atas. Menulis dengan menggali suatu substansi. Atau beberapa substansi sejenis dioplos untuk menghasilkan rumus kalimat baru. Bukan baru. Jarang dipakai tapi masih layak pakai.

Yang jelas saja kawan. Menulis bukan untuk menghakimi, mengadili, memvonis nasib diri. Menghadirkan dampak, efek ke masa depan yang bukan hak milik kita. [HaéN]

Pancasila dan Praktik Bernegara


Pancasila dan Praktik Bernegara

Kendati nyata dan jelas melanggar pasal merugikan negara, mengganggu stabilitas pembangunan, menurunkan martabat bangsa di mata dunia. Karena pelakunya dengan status terdakwa didominasi penyelenggara negara, aparat pemerintah maupun petugas partai secara umum. Tidak serta merta masuk kategori anti-Pancasila. Paling berat cuma dicabut hak politiknya.

Lain cerita dengan perbuatan yang tidak menyenangkan pihak penguasa, merongrong wibawa kepala negara, melecehkan kewenangan pihak berwajib dan tindakan lain serupa. Terlebih pelakunya dari pihak lawan politik, bukan dari kubu sekutu, bukan dari jajaran loyalis dan pendérék penguasa, bukan dari barisan kawanan koalisi pro-pemerintah. Serta merta, tak pakai lama, langsung mendapat vonis, stigma anti-Pancasila,

Sejauh ini tidak ada rumusan sebagai syarat adminsitrasi telah berpancasila dengan benar dan baik. Moral kepancasilaan ditakar dengan setia negara. Hafal Pancasila dan dilaksanakan secara total, tanpa banyak tanya. Wajah berpancasila tampak diraut muka, guratan wajah pejabat pemerintah, pejabat negara. Diperkuat dengan busana kebesaran, seragam angkatan, atribut partai.

Bisa jadi, rakyat yang kebetulan pada tempat yang tak tepat, waktu yang tak normal. Layak dicurigai. Ketika bumi bertelinga, lebih peka dengar bisik pihak yang anti-bumi. [HaéN]

Indonesia tak segitu-gitunya


Indonesia tak segitu-gitunya

Betapa ongkos perkara pilpres. Betapa biaya politik, nilai tukar presiden, nilai jual. Mungkin terfantastis di antara anggota ASEAN. Betapa bencana politik menjadi daya tarik. Faktor sengaja, terencana bahkan berkomplotan menjadi penentu.

Daya juang paslon melebihi heroisme, nasionalisme, rasa aku cinta Indonesia peolahraga yang mempertahankan prestasi, peringkat, khususnya predikat juara umum dan atau jawara bertahan. Pengalaman Jabatan yang sama, skenario apa pun, di atas kertas bak siap dilantik ulang.

Walhasil, perang tanding antar dua kubu. Dirinci bak bebas tarung. Tak pakai kode etik. Tak pandang warna bulu jenis kelamin. Bebas BB, usia, pendidikan, profesi, gelar akademis, domisili maupun sertifikat pancasilais sejati.

Di lapangan maupun di ajang laga medsos, antar generasi dibenturkan demi raih suara.

Peribahasa “harimaumu, moncongmu”. Menjadi perlambang adanya praktik masif moncong putih berbih-buih kian memérahkan Sang Merah-Putih. Menu politik ‘nasakom’ warisan Orde Lama, dilestarikan oleh anak cucu ideologis.

Akhirnya nilai luhur demokrasi Nusantara tercabut dari akarnya. Menggantung bebas dan tergantung pada kebijakan partai. Khususnya parpol perpanjangan tangan pihak yang merasa. [HaéN]