Halaman

Rabu, 09 Januari 2019

jalma mati murka, yumana mati lena


jalma mati murka, yumana mati lena

Sengaja dan nyata, judul saya ambil dari buku “Peribahasa Dalam Bahasa Jawa”, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Jakarta 1988. Karena sudah >30 tahun, narasinya tidak saya comot. Tak berarti sudah ketinggalan zaman. Malah kian kental, aktual, faktual dengan kondisi terkini. Silahkan simak di buku tsb.

Pemirsa berhak menafsirkan secara bebas aktif, menerapkan asas élaborasi terhadap judul.

Tiap suku Jawa mempunyai paribasan yang tak jauh beda makna. Kata ‘jalma’ merupakan tembung aran atau kata benda, menjelaskan arti ‘manusia’ dan atau orang. Nilai filosofis, filsafati paribasan memang tak tergerus oleh laju zaman. Perwujudan akhlak, budi pekerti, norma kehidupan. Terkait manusia, tidak bisa diterjemahkan secara bahasa.

Pembangunan manusia seutuhnya, nyaris terjadi tiap periode pemerintahan. Beda formulasi. Seperti ada persaingan. Kian dirumuskan, malah seolah melupakan jati diri manusia.

Konsep memanusiakan manusia,  acap terjebak pada kondisi yang bisa membuat degradasi kemanusiaan. Antara lain, tiga saja:

Pertama, jebakan slogan, semboyan yang tampak gagah. Padahal  hampa makna. Modus  ini sering ditayangkan sebagai bahan tayangan. Termasuk  dalam bentuk visual seperti spanduk, banner.
Kedua, jebakan proyek kebijakan sampai tingkat keluarahan/desa. Pembentukan tim ahli alih atau transfer pengetahuan sampai tahap sertifikasi.
Ketiga, jebakan inkonsistensi atau jebakan “memanusiakan manusia  untuk Anda”. Jebakan simbolik ini akan malah melahirkan juru tatar yang merasa super.

Sebagai manusia . . . [HaéN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar