jalma mati murka, yumana mati lena
Sengaja dan nyata, judul saya ambil dari buku “Peribahasa Dalam Bahasa
Jawa”, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Jakarta 1988. Karena sudah >30
tahun, narasinya tidak saya comot. Tak berarti sudah ketinggalan zaman. Malah
kian kental, aktual, faktual dengan kondisi terkini. Silahkan simak di buku
tsb.
Pemirsa berhak menafsirkan secara bebas aktif, menerapkan asas élaborasi
terhadap judul.
Tiap suku Jawa mempunyai paribasan yang tak jauh beda makna. Kata ‘jalma’ merupakan tembung aran atau kata benda, menjelaskan arti ‘manusia’ dan atau
orang. Nilai filosofis, filsafati paribasan memang tak tergerus oleh laju zaman. Perwujudan akhlak, budi pekerti,
norma kehidupan. Terkait manusia, tidak bisa diterjemahkan secara bahasa.
Pembangunan manusia seutuhnya, nyaris terjadi tiap periode pemerintahan. Beda
formulasi. Seperti ada persaingan. Kian dirumuskan, malah seolah melupakan jati
diri manusia.
Konsep memanusiakan manusia, acap
terjebak pada kondisi yang bisa membuat degradasi kemanusiaan. Antara lain,
tiga saja:
Pertama, jebakan slogan, semboyan yang tampak gagah. Padahal hampa makna. Modus ini sering ditayangkan sebagai bahan tayangan.
Termasuk dalam bentuk visual seperti
spanduk, banner.
Kedua, jebakan proyek kebijakan sampai tingkat keluarahan/desa. Pembentukan
tim ahli alih atau transfer pengetahuan sampai tahap sertifikasi.
Ketiga, jebakan inkonsistensi atau jebakan “memanusiakan manusia untuk Anda”. Jebakan simbolik ini akan malah
melahirkan juru tatar yang merasa super.
Sebagai manusia . . . [HaéN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar