padahal Indonesia, kurang apa lagi
Tak ada yang aneh pada wajah debat
politik. Politik substansial bak buah manggis. Tanpa warna ideologis sudah
jelas isi perut ybs. Pisang satu tandan, tak semua enak disantap. Ada saja yang
maunya sendiri. Lain cerita, kalau memang untuk bahan baku.
Toleransi karena menjaga harga diri
orang lain. Menjadikan anak bangsa ini bersikap malu-malu buaya. Buaya yang tak
berpikir akan jadi simbol kejantanan tanpa tanding. Takut taring, ekor siap
main gebuk.
Posisi geografis NKRI memanjang di
khatulistiwa. Alam pikir terbentuk oleh anomali musim. Diimbang dengan bentuk
negara multi partai. Ritual politik lima tahunan, sarat janji kampanye.
Semenjak kran demokrasi mengucur
bebas. Menu politik menyajikan pola pengulangan dosa politik yang sama. Tidak ada
pergantian pemain. Kendati sudah kalah total atau babak belur. Kian waktu
diulur, kian butuh pupur, lulur anti benjut.
Tiap periode disesaki nafas dan
nafsu politik yang kian jauh dari kebutuhan dan kepentingan umum. Pihak yang
dianggap penjaga kedaulatan, ikut terseret arus politik pemakan segala. Kepala sama
ditumbuhi rambut. Topeng politik tak
jauh dari warna merah. [HaéN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar