Halaman

Sabtu, 12 Januari 2019

padahal Indonesia, kurang apa lagi



padahal Indonesia, kurang apa lagi

Tak ada yang aneh pada wajah debat politik. Politik substansial bak buah manggis. Tanpa warna ideologis sudah jelas isi perut ybs. Pisang satu tandan, tak semua enak disantap. Ada saja yang maunya sendiri. Lain cerita, kalau memang untuk bahan baku.

Toleransi karena menjaga harga diri orang lain. Menjadikan anak bangsa ini bersikap malu-malu buaya. Buaya yang tak berpikir akan jadi simbol kejantanan tanpa tanding. Takut taring, ekor siap main gebuk.

Posisi geografis NKRI memanjang di khatulistiwa. Alam pikir terbentuk oleh anomali musim. Diimbang dengan bentuk negara multi partai. Ritual politik lima tahunan, sarat janji kampanye.

Semenjak kran demokrasi mengucur bebas. Menu politik menyajikan pola pengulangan dosa politik yang sama. Tidak ada pergantian pemain. Kendati sudah kalah total atau babak belur. Kian waktu diulur, kian butuh pupur, lulur anti benjut.

Tiap periode disesaki nafas dan nafsu politik yang kian jauh dari kebutuhan dan kepentingan umum. Pihak yang dianggap penjaga kedaulatan, ikut terseret arus politik pemakan segala. Kepala sama ditumbuhi rambut.  Topeng politik tak jauh dari warna merah. [HaéN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar