daya ideologi bangsa, modal mulut vs
bahan baku kentut
Jelas beda antara ideologi dengan
politik. Lepas dari fakta kamus yang ada. Politik pun menjadi multitafsir. Si penafsir
pun punya banyak stok alasan. Biasanya kalah banyak dengan kejadian nyata di
tempat kejadian bencana politik.
Bencana politik mulai dari yang
seolah tak terasa, namun nyata. Ketika garam dapur rasanya asin keringat orang
asing. Hasil olahan petani asing. Berkat kebijakan impor pemerintah RI, urusan
perut bisa mengandalkan pangan impor. Indonesia mampu memberi makan petani
negara lain.
Ikatan kepancasilaan kian menipis. Khususnya
hubungan vertikal mengkuti pola piramida. Kian jauh dari rakyat, terpaan angin
mampu menggoyang stabilitas wibawa. Kawan dekat bukan berarti siap bela. Biasanya
malah mengingatkan setelah kejadian. SDM utawa selamatkan diri masing-masing,
hal yang pokok dan utama.
Di zaman Orde Baru sudah dapat
disimpulkan bahwasanya anak bangsa terjun ke dunia politik, untuk dan atau
sebagai profesi, mata pencaharian, sumber penghasilan. Presiden kedua RI mampu ‘atas
kehendak rakyat’ 1971, 1977, 1982, 1987, 1992 dan 1997, atau 6x disumpah. Golkar
menjadi kendaraan politik yang total loyal.
Watak politik presiden kedua RI
adalah lihai mendayagunakan orang pandai. Dukungan nyata kalangan intelektual
sampai sokongan spiritual. Militer, Polri masih sebagai angkatan dan bagian
TNI, jelas di bawah kendali Sang Jenderal Besar. Masa mengambang sampai tingkat
desa/kelurahan, kian kuat daya cangkeram.
Pasca reformasi, perguliran dunia
politik mulai dari puncaknya, 21 Mei 1998. [HaéN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar