kata jejak sejarah, pejuang bangsa vs pecundang partai
Kian cerdas anak bangsa Nusantara,
kian kehabisan peluang untuk melakukan tindak laku bajik. Minimal dalam
hubungan antar manusia dan atau orang. Saling jaga rasa, akhirnya enggan untuk
bebruat baik. Takut didakwa tak ikhlas dan rela hati.. Ada maunya apa-apa mau. Ada
pamrih terstruktur. Sudah udang, bungkuk pula lagi ketimbun longsoran batu.
Niat hati mengabdi kepada negara
liwat jalur menjadi bagian terkecil dari kawanan pendérék penguasa, banyak
saingan. Ijazah S1 nyaris tak dipedulikan. Syarat administrasi pun tak
menyuratkan. Harga diri seolah tak ada harganya lagi.
Mbahnya haram saja sudah dikapling
atau di bawah kuasa pihak tertentu. Melihat lokasi markas mereka saja, perlu
rekomendasi bertahap. Lihat kinerja manusia politik di layar kaca, sudah merasa
jadi bagian, punya andil.
Bukan kehendak sejarah kakek nenek
moyang. Terjadinya generasi yang tak pernah muncul di pentas politik. Fakta reformasi
menampilkan petugas partai jika terkena OTT KPK. Atau rersandung pasal hukum
pidana.
Jangan dibandingkan dengan tarif kencan
artis, model liwat prostitusi online. Terantung elektabilitas,
popularitas. Soal bakat atau ada niat menambah ilmu, agar layak laga. Persaingan
menjadikan serba bebas aktif. Kolektif kolegial maupun pelaku tunggal. Demi tujuan
bersama, mengorbankan diri bangsa, tak perlu malu dan tak perlu ragu. Berani atau
malu. [HaéN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar