kian giat menulis, semakin miskin kalimat
Karakter narasi, bahasa tiap disiplin ilmu memang khas. Sarat
istilah, singkatan atau ikhwal kebahasaan. Bisa-bisa, satu kalimat berupa satu
alenia.
Kita bisa melihat beda gaya bahasa pada artikel, makalah
atau laporan penelitian.
Selain disiplin ilmu, disiplin profesi juga mempunyai ragam
bahasa yang seolah standar, baku. Nyata pada kabar tertulis di media massa.
Pada derajat tertentu, karya tulis menjadi saudara
kandung karya sastra. Perlu daya apresiasi yang tidak sekedar, ala kadar. Semua
serba mungkin. Lebih dari itu, karakter tulisan menjadi trade mark sang
penulis. Jangan lupa, kalau bisa bertutur kata, ahli ucap, bukan jaminan bisa
menulis dengan kaidah.
Sebaliknya, atau keterbalikan dengan pehobi menulis. Modal
menulis adalah banyak membaca. Pasang telinga dengar ayat qauliyah maupun ayat
kauniyah. Asah kepekaan radar hati untuk mendengar suara luar. Dipadukan dengan
kata hati.
Tak kalah, tak kurang genitnya adalah dengan punya kamus
bahasa. Memanfaatkan online. Simpan di laptop. Sah-sah saya meng-copas
kalimat atau alenia karya tulis ilmiah, fiksi.
Ragam ilmu agama Islam menjadi rujukan. Agar tak salah
menggunakan dalil. Atau jangan sampai dangkal uraian, miskin substansi. Bahasa agama
disampaikan secara umum, dengan bahasa umum.
Pernah saya olahkatakan, produktivitas menulis jika tiap
24 jam mampu menyelesaikan 1-2 judul. Soal seberapa sedikit pemirsa di blogspot.
Lihat asal negara, ini malah hak bikin gembira hati. Ambil asumsi ringan, ideal
atau asa membuncah tiap jam ada yang menyimak.
Dengan sendirinya, jangan ragu menulis. Persoalan muncul,
saat ada kesibukan harus inap di tempat lain. Sepi laptop. Tapi masih sempat
menjaring dan atau menyaring sumber tema. Acara inap di hotel karena pekerjaan,
bisa bawa laptop. Wifi gratis, sudah include tarif kamar. Menulislah sebelum
kehabisan kata. [HaéN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar