Halaman

Rabu, 30 Januari 2019

kian giat menulis, semakin miskin kalimat


kian giat menulis, semakin miskin kalimat

Karakter narasi, bahasa tiap disiplin ilmu memang khas. Sarat istilah, singkatan atau ikhwal kebahasaan. Bisa-bisa, satu kalimat berupa satu alenia.

Kita bisa melihat beda gaya bahasa pada artikel, makalah atau laporan penelitian.

Selain disiplin ilmu, disiplin profesi juga mempunyai ragam bahasa yang seolah standar, baku. Nyata pada kabar tertulis di media massa.

Pada derajat tertentu, karya tulis menjadi saudara kandung karya sastra. Perlu daya apresiasi yang tidak sekedar, ala kadar. Semua serba mungkin. Lebih dari itu, karakter tulisan menjadi trade mark sang penulis. Jangan lupa, kalau bisa bertutur kata, ahli ucap, bukan jaminan bisa menulis dengan kaidah.

Sebaliknya, atau keterbalikan dengan pehobi menulis. Modal menulis adalah banyak membaca. Pasang telinga dengar ayat qauliyah maupun ayat kauniyah. Asah kepekaan radar hati untuk mendengar suara luar. Dipadukan dengan kata hati.

Tak kalah, tak kurang genitnya adalah dengan punya kamus bahasa. Memanfaatkan online. Simpan di laptop. Sah-sah saya meng-copas kalimat atau alenia karya tulis ilmiah, fiksi.

Ragam ilmu agama Islam menjadi rujukan. Agar tak salah menggunakan dalil. Atau jangan sampai dangkal uraian, miskin substansi. Bahasa agama disampaikan secara umum, dengan bahasa umum.

Pernah saya olahkatakan, produktivitas menulis jika tiap 24 jam mampu menyelesaikan 1-2 judul. Soal seberapa sedikit pemirsa di blogspot. Lihat asal negara, ini malah hak bikin gembira hati. Ambil asumsi ringan, ideal atau asa membuncah tiap jam ada yang menyimak.

Dengan sendirinya, jangan ragu menulis. Persoalan muncul, saat ada kesibukan harus inap di tempat lain. Sepi laptop. Tapi masih sempat menjaring dan atau menyaring sumber tema. Acara inap di hotel karena pekerjaan, bisa bawa laptop. Wifi gratis, sudah include tarif kamar. Menulislah sebelum kehabisan kata. [HaéN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar