mental generasi melek sandal, kurang mengherankan
Bukan karena tak melakuikan prosesi
acara adat tedhak siten ketika
selagi masih usia 7 bulan. Lebih dikarenakan faktor internal mendarah daging,
yaitu alergi, antipati, apriori kinerja, krida, kiprah pihak kamar sebelah.
Kadar radar diri sebagai kawanan
pendérék penguasa, daya peka, peduli, tanggapnya hanya tergerak oleh aba-aba
satu frekuensi. Selalu siap, siaga, sigap 24 jam. Jam tidur pun, tak masalah
asal juragan riang hatinya.
Asupan gizi ijazah S1 atau lebih,
tak menentukan daya olah lidah. Sensasi lidah tak bertulang dan sekaligus tak
bercabang. Daya gempurnya di luar pengetahuannya. Jauh dari ilmunya. Semakin nista
diri, ujaran penistaan kian bertubi-tubi tanpa hitungan.
Kandungan makna umur dan atau usia,
tak terkait dengan minat diri sejak dini untuk mendayagunakan ujung jari tangan seoptimal
nafsu. Kawanan ini tak akan pernah kehilangan kata apa pun. Otak encernya mudah
mencerna dan berdaya tampung luar biasa. Di atas rata-rata manusia normal. Contoh
paling murah dalam bentuk olok-olok politik.
Pantang bagi mereka jika pepunden-nya disenggol fakta yang tak sesuai skenario. Tanpa aba-aba
langsung pasang tanduk. Siap siaga bertindak tanduk sesuai hukum rimba. Sigap setia
menyeruduk melebihi gerudukan babi buta. Selebihnya bak kebo kabotan sungu.
Setelah semua prosesi acara adat tersebut
tuntas, lanjut dengan potong tumpeng. Nasi putih dicetak model gunungan atau
kerucut, di lengkapi dengan sayur urap komplit.
Akhirnya, generasi melek sandal,
banyak yang keprucut dari
nasibnya. Kepencut benjut gelung kondé mbokdé
mukiyo. [HaéN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar