Indonesia tak segitu-gitunya
Betapa ongkos perkara pilpres. Betapa biaya politik,
nilai tukar presiden, nilai jual. Mungkin terfantastis di antara anggota ASEAN.
Betapa bencana politik menjadi daya tarik. Faktor sengaja, terencana bahkan
berkomplotan menjadi penentu.
Daya juang paslon melebihi heroisme, nasionalisme, rasa aku
cinta Indonesia peolahraga yang mempertahankan prestasi, peringkat, khususnya predikat
juara umum dan atau jawara bertahan. Pengalaman Jabatan yang sama, skenario apa
pun, di atas kertas bak siap dilantik ulang.
Walhasil, perang tanding antar dua kubu. Dirinci bak
bebas tarung. Tak pakai kode etik. Tak pandang warna bulu jenis kelamin. Bebas BB,
usia, pendidikan, profesi, gelar akademis, domisili maupun sertifikat
pancasilais sejati.
Di lapangan maupun di ajang laga medsos, antar generasi
dibenturkan demi raih suara.
Peribahasa “harimaumu, moncongmu”. Menjadi perlambang
adanya praktik masif moncong putih berbih-buih kian memérahkan Sang
Merah-Putih. Menu politik ‘nasakom’ warisan Orde Lama, dilestarikan oleh anak
cucu ideologis.
Akhirnya nilai luhur demokrasi Nusantara tercabut dari
akarnya. Menggantung bebas dan tergantung pada kebijakan partai. Khususnya parpol
perpanjangan tangan pihak yang merasa. [HaéN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar