Halaman

Minggu, 27 Januari 2019

saatnya Indonesia mencium bau kentut sendiri


saatnya Indonesia mencium bau kentut sendiri

Wajah Nusantara walau tanpa polesan oplosan tapai dengan roti. Daya tariknya, tanpa iklan promosi, propaganda musim tetap semarak. Aroma irama lokal bak goyang ndangdhut. Tidak bisa disimak dengan kacamata normal.

Ajaib binti anéh, anak bangsa pribumi lebih gemar mengendus aroma ketiak bangsa asing jauh di belahan dunia lain. Tidak berlaku pada rakyat yang punya dan atau tidak punya wakil rakyat. Karena belum berhak menggunakan hak pilih. Suka-suka diri untuk bertutur, berujar, berkoar, bercuap, berucap.

Pasal hukum nasional belum menemukan rumusan jitu apa itu kejahatan politik. Kendati UU menjelaskan penyebab pertama dan utama konflik sosial adalah politik. Modus perilaku pemerintah sekedar praktik kebijakan partai di luar ala kadarnya.

Tahun politik akhir periode 2014-2019, orang baik pilih diam. Lebih kejam ketimbang tutup mata terhadap kezaliman, kelaliman bangsa penjajah. Perguliran zaman yang tak sesuai sejarah. Kuat, kaya terlebih dahulu, baru kemudian ,menjadi penguasa. Tak begitu-begitunya. Kepala daerah  yang milyarder karena aneka usaha rintisan keluarga atau pola usaha bersama. Masih tak luput dari OTT KPK.

Zaman Orde Lama, setelah jad menteri, baru bisa kaya. Beda dengan negara lain yang maju. Biaya politik memang menjadi rumus dasar. Jumlah partai politik berkorelasi dengan biaya politik. Kian probalitas pesimis, kian jor-joran beli suara.

Ramuan ajaib revolusi mental, untuk mempertahankan juara umum. Mengandalkan mafia atur skor, tidak cukup. Mesin politik maupun gabungan, bukan jaminan mutu melaju di ombak tak berduri.

Sadar diri setelah kejadian di luar angan-angan politik dalam negeri. Gosong banyak kerak, intip. Encer jadi bubur siap seruput.[HaéN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar