perang batin manusia politik, bawah
sadar vs bawah tanah
Kinerja, krida, kontribusi kawanan
parpol sebagai wakil rakyat akan terbaca jika menghadapi lawan tanding dari
kamar sebelah. Tidak hanya itu. Internal partai, ada rebutan pengaruh
menentukan pejabat elit. Ujung-ujungnya pada penentuan nomor urut sebagai
caleg.
Wajarlah kawan. Pokok bahasan substantive
bukan pada nilai benar salah, baik buruk. Apalagi yang memihak kepentingan,
kebutuhan rakyat. Lebih ditentukan oleh kebijakan partai. Kian wajar jika ada
partai yang katanya pro wong cilik. Tampak eksis karena dihuni manusia jiwa
kerdil. Yang sigap taat perintah, order, aba-aba. Bukan saja siap melawan lawan
politik. Siap menjadi apa saja, tak pakai tanya.
Warna politik memang kentara dan
menjadi karakter turun temurun. Kembali ke 2018, ambil judul “bonus idélogi
non-Pancasila, tak pakai lama vs tidak perlu mikir”.
Akankah terus beraksi “aksi garang penguasa tanda tak dalam”.
Rakyat disuguhi pembuktian diri kawanan loyalis penguasa, kawanan
pendérék penguasa 2014-2019, dengan ritual politik “asu gedhé menang kerahé”. Dioplos dengan “anjing menggonggong tak menggigit”. Jangan salah ingat “méntal radikal kawanan penguasa, khafilah tak berlalu tetap menggonggong”.
Sensitivitas dan daya cerna asupan
politik anak bangsa cenderung memakai pola sumbu pendek. Olahkata saya bertajuk
“pendidikan politik Nusantara, daya dong rendah vs telat
mikir”, menjadi narasi lumrah, sederhana. [HaéN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar