ketika rakyat tanpa wakil rakyat
Tak ada kaitan dengan pasal buta politik, gagap politik,
gagal politik. Secara konstitusional, rakyat karena faktor U belum menyandang
hak pilih. Ditambah suara sah, tapi yang dipilih tidak memenuhi syarat jumlah
suara jadi wakil rakyat.
Coblosan karena secara teknis tidak memenuhi syarat sah
dan tidak dapat dimanfaatkan secara senyap. Ditambah dengan pemilih yang
memilih golput. Memang ada rekap suara. Berapa % suara sah dibanding total
penduduk.
Negara multipartai berdampak banyak wakil rakyat. Akankah
daerah pilihan membengkak. Jelang pemilu, muncul parpol baru. Peluang bagi
rakyat untuk menjadi wakil rakyat. Dibilang alasan, niat luhur, cita-cita
terselubung, minat kuat menjadi wakil rakyat. Mata pencaharian, profesi yang
menjanjikan.
Bagi pegiat sosial berbasis perumahan, teritorial semisal
RT, RW. Adab bermasyarakat bukan barang baru. Ditambah ilmu agama tentang
ukhuwah. Ikatan religi, akidah menjadi ikatan kuat untuk mewujudkan kemaslahatan
umat. Pemerataan kesejahteraan dengan praktik zakat, infaq, sedekah.
Pancasila sudah menjabarkan bagaimana seharusnya cerdas
politik. Utamakan persatuan, kesatuan dan keutuhan NKRI. Jangan mudah terbawa
arus sentiment global yang serba mendikte.
Beban moral wakil rakyat kian ringan. Hanya fokus pada
kebijakan partai. Gerakan rakyat sadar masa depan, melalui jalur kebangsaan,
tak tergantung periode. Rakyat adalah potensi bangsa. Modal utama
keberlangsungan negara. [HaéN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar