sepélé nanging ojo disepèlèké
Rumput, entah apa nama latinnya. Sudah masuk bahasan
kebajikan: menanam padi , rumput ikut tumbuh. Yang masih serumpun saja bisa
terjadi. Menanam rumput hias, selang waktu malah disalip rumput liar.
Tanah kosong tidak diurus, menghasilkan rumput liar yang menjulang, menantang. Selain dilirik
oleh pihak yang tak bertanggung jawab, tapi ahli melihat peluang.
Jalan beraspal, yang dibangun dengan dukungan, bantuan
asing berupa utang luar negeri, rumput jenis apa tanpa ragu tumbuh. Apalagi jalan
di perumahan dengan bahan lapisan atas dari conblock. Di sela-sela sambungan,
menjadi media tumbuh rumput dan kawanannya.
Profesi merumput, menjadi idaman anak yang gatal kaki. Pemainnya
menjadi idola penggemar lintas negara. Menjadi incaran lawan jenis karena
piawai menggojek bola dan hati wanita. Tendangannya mampu atau menjadi daya
tarik pemodal.
Indonesia tak kurang dengan cikal bakal pesepak bola. Hanya
karena proses, prosedur, tahapan untuk menjadi pemain jadi, butuh pengorbanan
tak sedikit. Cepat sukses, memangnya bisa dkarbit bak pemain politik. Modal nama
besar orangtua, kakek nenek moyangnya, masuk jalur cepat jadi semacam ‘petugas
partai’.
Akhirnya, politisi professional menjadi dimensi baru
wajah politik Nusantara. Korporatokrasi (sistem kawin silang antara jenis
pengusaha dengan macam penguasa), menguatnya plutokrasi (sistem politik yang
dikuasai pemilik modal/kapitalis) atau pola lain menjadi karakter pemerintah.
Kawanan petugas partai, menjadi semakin kurang percaya
diri di tahun politik 2018 maupun nantinya di tahun politik 2019.
Skore akhir babak final laga kandang pemilu serentak
2018, akan menentukan peta politik. Siapa jadi apa, menjadi pasal utama bancakan
politik.
Rakyat yang identik dan sarat keluguan, hanya selalu berdoa
agar muncul wajah baru. Berharap masih ada harapan. Soal NKRI sudah compang-camping,
tercabik-cabik, masih bisa diutuhkan. Apa guna Pancasila. [HaèN]