Halaman

Kamis, 31 Mei 2018

sepélé nanging ojo disepèlèké


sepélé nanging ojo disepèlèké

Rumput, entah apa nama latinnya. Sudah masuk bahasan kebajikan: menanam padi , rumput ikut tumbuh. Yang masih serumpun saja bisa terjadi. Menanam rumput hias, selang waktu malah disalip rumput liar.

Tanah kosong tidak diurus, menghasilkan  rumput liar yang menjulang, menantang. Selain dilirik oleh pihak yang tak bertanggung jawab, tapi ahli melihat peluang.

Jalan beraspal, yang dibangun dengan dukungan, bantuan asing berupa utang luar negeri, rumput jenis apa tanpa ragu tumbuh. Apalagi jalan di perumahan dengan bahan lapisan atas dari  conblock. Di sela-sela sambungan, menjadi media tumbuh rumput dan kawanannya.

Profesi merumput, menjadi idaman anak yang gatal kaki. Pemainnya menjadi idola penggemar lintas negara. Menjadi incaran lawan jenis karena piawai menggojek bola dan hati wanita. Tendangannya mampu atau menjadi daya tarik pemodal.

Indonesia tak kurang dengan cikal bakal pesepak bola. Hanya karena proses, prosedur, tahapan untuk menjadi pemain jadi, butuh pengorbanan tak sedikit. Cepat sukses, memangnya bisa dkarbit bak pemain politik. Modal nama besar orangtua, kakek nenek moyangnya, masuk jalur cepat jadi semacam ‘petugas partai’.

Akhirnya, politisi professional menjadi dimensi baru wajah politik Nusantara. Korporatokrasi (sistem kawin silang antara jenis pengusaha dengan macam penguasa), menguatnya plutokrasi (sistem politik yang dikuasai pemilik modal/kapitalis) atau pola lain menjadi karakter pemerintah.

Kawanan petugas partai, menjadi semakin kurang percaya diri di tahun politik 2018 maupun nantinya di tahun politik 2019.

Skore akhir babak final laga kandang pemilu serentak 2018, akan menentukan peta politik. Siapa jadi apa, menjadi pasal utama bancakan politik.

Rakyat yang identik dan sarat keluguan, hanya selalu berdoa agar muncul wajah baru. Berharap masih ada harapan. Soal NKRI sudah compang-camping, tercabik-cabik, masih bisa diutuhkan. Apa guna Pancasila. [HaèN]

konsumsi dan komersialisasi Pancasila


konsumsi dan komersialisasi Pancasila

Salah banyak kemanfaatan Pancasila sebagai pandangan hidup, adalah dapat menghidupi anak bangsa. Menjadi mata pencaharian secara edukatif. Menjadi guru Pancasila sampai narasumber Pancasila.

Pancasila agar tampak berwibawa, menajdi alat dan permainan manusia politik.

Zaman Orde Baru muncul karena ada ramuan Pancasila Sakti. Periode ‘Panca Sila’ sakti dengan penguasa tunggal presiden kedua RI, bisa menyalip lamanya menjabat presiden pertama RI.

Bukti otentik, orisinal utama dan pertama. Bahwasanya anak cucu idologis faham yang menjadi bahaya laten, tak ada matinya. Atak ada pasal kapok, jera. Semakin dibabat, akan semakin tumbuh liar. Masuk ke ranah apa saja.

Bulkti sampingan yang tak kalah atraktif, adalah yang mana dimana anak bangsa pribumi, putera-puteri terbaik daerah, kalangan bumiputera masih melihat sosok dan ketokohan seseorang. Tidak salah. Mengingat tipologi masyarakat Nusantara, tidak bisa diterapkan sistem bahwa mayoritas suara menjadi penentu.

Rasanya tata kalimat ini, melenceng dari niat awal. Juga tidak. Hanya sebagai pemanas, pemanas hati kawanan loyalis yang sedang baik daun.

Semakin jauh dari rakyat, karena panggilan tugas, maka nilai-nilai Pancasila akan mrutuli, mritili, mrutuli, mrètèli. Berlindung di balik pasal konstitusional, maka berlakulah asas: gebuk duluan, rembuk belakangan.

Jangan salah kalau Pancasila yang berasal, berawal dari perikehidupan rakyat, tetap menjadi menu harian rakyat.

Akhirnya, pihak yang selama ini memang biang dari segala biang, yang tak siap menang. Agar nalar politiknya berkembang tanpa meradang, harus diberi pupuk organis. Selama ini hanya hidup di bawah bayang-bayang kakek moyangnya, maka sekarang hidup dalam angan-angan politiknya.

Tak salah, kalau Pancasila didudukan, diposisikan secara formal kenegaraan. Bukan sekedar alih  wacana atau sebagai syarat administrasi. [HaèN]

terima kasih pemirsa dari RI, AS, Prancis


terima kasih pemirsa dari RI, AS, Prancis

Masuk kategori gaptek, tidak menjadikan diri serta merta hanya sebagai pemanfaat pasif. Modal laptop jadul, berat ditenteng. Memanfaatkan email dan yang utama membangun blogspot pribadi.

Bahasa Indonesia yang benar, baik, bagus, betul saya terapkan pada tata kalimat, olah kata yang saya tayangkan. Penamaan label sesuai karakter tulisan. soal substansi, saya tayangan apa adanya, adanya apa. Diperkaya dengan budaya baca, sebagai penguat iman.

Miat menulis dan harapan yang diharap, cuma satu yaitu ingin menulis. Soal seberapa sedikit pemirsa, istilah di blogspot, atau berdasarkan negara yang menayangkan, tidak jadi masalah.

Asumsi waktu, jika 1 jam ada satu pemirsa, sudah bikin hati puas. Karena selain dari dalam negeri, dimungkinkan negara lain beda waktu, ada saja yang iseng buka. Katakan di bulan Mei 2018.  Negara yang menayangkan. Indonesia: 665. Amerika Serikat: 240. Prancis: 217. Portugal: 68. Rusia:50. Polandia: 44. Brasil: 27. Swedia:17. Vietnam: 14.

Jangan langsung besar kepala dengan jumlah negara dan pemirsa. Orang Indonesia yang ada di negara tadi, sebagai pembuka blogspot. Atau sedang mencari artikel tentang kondisi dan nasib Indonesia terkini. Tak perlu merasa bahwa orang asing jadi peminat.

Terima kasih saya kepada negara yang bulan Mei 2018 sempat-sempatnya. Terutama tiga teratas. Dengan kata lain, bersyukur WNI yang ada di manca negara, masih peduli dengan tanah airnya.

Apa saja judul yang banyak pemirsanya. Lain cerita. Nanti, in sya Allah, saya ungkapkan pada kesempatan berikut, di tempat yang sama. [HaèN]

Rabu, 30 Mei 2018

dilema kursi goyang, perilaku pamer vs pamer perilaku


dilema kursi goyang, perilaku pamer vs pamer perilaku

Bahasa awam, kalau digoyang, artinya digerakkan ke kanan dan ke kiri. Dilakukan secara berulang, goyang kanan, goyang kiri. Seperti kepala digoyang sendiri. Geleng ke kanan, jeleng ke kiri. Kalau digoyang ke depan dan ke belakang.

Lema ‘goyang’ belum bisa dibakukan, karena bersifat dinamis. Rentan, riskan, peka, sensitif. Sedikit goyangan, dampak, efeknya susah diprediksi. Bisa mengkacaubalaukan rencana.

Maknanya akan lebih bernas, masif jika dipakai untuk lema yang lain. Istilahnya dipadupadankan. Misal, badak gèdèg. Untuk binatang yang pas, hanya untu ‘jaran goyang’. Terkait dengan dunia bebas gaul, muncul fenomena moyang atau mobil goyang.

Simbol orang yang sudah sukses dunia, dengan tenang duduk manis di kursi goyang. Menghadapi sisa umur dan cadangan waktu. Sejak pagi duduk dengan santai di kursi goyang, di teras depan. Sambil menikmati lalu lalang manusia yang sibuk dengan urusan dunia.

Kursi goyang bisa menjadi simbol negara. Tampak lebih berwibawa, merakyat daripada duduk di singgasana.

Si penduduk, atau orang yang duduk di kursi goyang, tidak perlu mengangguk tanda setuju. Lihat arah goyangan. Belajar dari sejarah pasca Proklamasi, maka kursi goyang dimodifikasi menjadi tandu.

Acara utama dipakai untuk blusukan, kunjungan kerja, turun ke bawah, sidak ke pasar tradisional,  turun ke gorong-gorong atau ikut sibuk ayunan cangkul pertama pertanda NKRI swasembada beras. Acara yang dianggapnya berklas, saat rapat dengar pendapat dengan relawan, bolo dw, konco dw, loyalis tulèn.

Menghadapi periode kedua, semua parpol pendukungnya dijadikan satu partai besar. Dengan lambang ‘kursi goyang’.  Warna kursi sesuai aslinya. Warna kayu. Atau bisa juga warna merah. Maunya, warna kursi putih, polos. Warna bendera merah menantang.

Yèl-yèl bukan diimbangi dengan acungkan tinju ke langit. Cukup dengan mantuk-mantuk.  [HaèN]