radikalisasi Islam
Nusantara, garis keras vs garis pantai
Penganut
agama Islam di pulau Jawa, khususnya wilayah penyebaran oleh sunan Kalijaga,
masih tak bisa lepas 100% dari budaya. Skala tertentu, praktik dinamisme dan
atau animisme masih nyata.
Wilayah
kerajaan Mataram, masih meninggalkan penganut yang masuk kategori Islam saja. Bukan
Islam banget. Kendati sudah makan
bangku sekolah, menuntut ilmu dengan bukti gelar akademis, seperti ada hubungan
timbal balik antara derajat keilmuan dengan kadar keagamaan.
Selain
gelar akademis, masih banyak anak bangsa pribumi yang bangga denga gelar
kebangsawanan. Berbaur dengan rakyat jelata selama berapa keturunan. Darah birunya
sudah menipis. Atau terkontaminasi golongan darah yang tak selevel.
Sampai
olah kalimat ini ditayangkan di blogspot, masih terjadi bahwasanya mereka
dimaksud melihat agama Islam dengan bahasa manusia. Ahli meneropong kuman di
dunia lain.
Saya kira,
mereka hanya kebetulan eksistensinya. Tapi sudah menjadi komunitas tersebar. Kesetiakawanan
sebatas sama-sama ahli menghakimi keislaman orang lain.
Tak beda
jauh dengan wong Jawa yang merasa lebih barat daripada orang barat sesungguhnya.
Opo tumon. Sebagai masyarakat pedalaman, mereka sulit melakukan
perubahan. Apalagi menerima perubahan. Beda dengan masyarakat pantai, pesisir. [HaèN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar