Halaman

Kamis, 17 Mei 2018

radikalisasi Islam Nusantara, garis keras vs garis pantai


radikalisasi Islam Nusantara, garis keras vs garis pantai

Penganut agama Islam di pulau Jawa, khususnya wilayah penyebaran oleh sunan Kalijaga, masih tak bisa lepas 100% dari budaya. Skala tertentu, praktik dinamisme dan atau animisme masih nyata.

Wilayah kerajaan Mataram, masih meninggalkan penganut yang masuk kategori Islam saja. Bukan Islam banget. Kendati sudah makan bangku sekolah, menuntut ilmu dengan bukti gelar akademis, seperti ada hubungan timbal balik antara derajat keilmuan dengan kadar keagamaan.

Selain gelar akademis, masih banyak anak bangsa pribumi yang bangga denga gelar kebangsawanan. Berbaur dengan rakyat jelata selama berapa keturunan. Darah birunya sudah menipis. Atau terkontaminasi golongan darah yang tak selevel.

Sampai olah kalimat ini ditayangkan di blogspot, masih terjadi bahwasanya mereka dimaksud melihat agama Islam dengan bahasa manusia. Ahli meneropong kuman di dunia lain.

Saya kira, mereka hanya kebetulan eksistensinya. Tapi sudah menjadi komunitas tersebar. Kesetiakawanan sebatas sama-sama ahli menghakimi keislaman orang lain.

Tak beda jauh dengan wong Jawa yang merasa lebih barat daripada orang barat sesungguhnya. Opo tumon. Sebagai masyarakat pedalaman, mereka sulit melakukan perubahan. Apalagi menerima perubahan. Beda dengan masyarakat pantai, pesisir. [HaèN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar