Halaman

Senin, 28 Mei 2018

Takut Miskin, Jangan Jadi Wakil Rakyat


Takut Miskin, Jangan Jadi Wakil Rakyat

Jawaban diplomatis, sudah sedemikan hafalnya akan meluncur deras dari mulut wakil rakyat, nyaris tanpa koma. Paling top jika ditanya idealismenya mau-maunya mau jadi wakil rakyat.

Pertanyaan yang sama, namun beda penanya, jawabannya menyesuaikan. Tampak cerdas jika ikut tayangan pada acara jumpa wakil rakyat di media TV swasta. Walau tanpa ditanya, akan membeberkan niat, minat, cita-cita luhur sampai pasal idealisme mengapa pilih jalur sebagai wakil rakyat.

Agaknya belum ada penelitian, survei, jajak pendapat atau metode acak untuk mencari fakta pasal idealisme wakil rakyat.

Ironis binti miris, wakil rakyat yang karirnya berjenjang mulai dari wakil rakyat kabupaten/kota meningkat menjadi wakil rakyat provinsi, malah semakin jauh dari rumusan idealisme. Maksudnya, mereka menjalani nasib sebagai wakil rakyat, memang sudah jalan hidupnya.

TATA KRAMA
Perkembangan peradaban menjadikan semula yang masuk kategori ‘ora ilok’ menjadi versi mutakhir yaitu ‘yèn isin ora isi’.

Ada semboyan malu-malu mau. Mulanya malu-malu, lama-kelamaan menjadi malu-maluin. Tak tahu malu, belum berakhir di sini saja. Bahkan berbuat yang memalukan, namun konstitusional, malah sebagai pasal kebanggaan. Menjadi lagu wajib sebagai sisi lain kebijakan partai.

Singkat kata, manusia politik harus punya mental baja. Soal malu itu malah merugikan. Ingat pasal: “Apa guna malu. Malu tak ada gunanya”. Tertangkap basah semacam OTT KPK, atas perbuatan yang memalukan, ybs malah bangga. Menjadi pahlawan ideologi bagi partainya.

Betul, kata pengamat atau hasil survei, kalau mengambil barang orang lain yang bukan haknya – lihat dulu pelakunya. Korupsi tidak masuk pasal mencuri. Apalagi tidak ada ikatan, kaitan dengan budaya malu.

Korupsi di Nusantara didominasi akibat adanya hubungan diplomatik, hubungan multilateral dengan biaya politik maupun konspirasi, skenario, rekayasa politik. Karena manusia politik tidak bisa main sendiri.


BALIK BADAN
Namanya manusia politik. Agar tampak beda, atau agar atraktif, berujar tentang rasa idealismenya. Memakai perandaian, jika masuk sebuah partai politik. Semakin membeberkan fakta bahwa puncak pengabdian di tubuh partai politik, jika sudah bisa menduduki kursi wakil rakyat. Jika mampu meraih kursi kepala daerah. Jika dipercaya karena nilai jualnya layak  mengisi kursi pembantu presiden. Top karir dengan tenang duduk di singgasana kepala negara.

Memang tersedia jalur cepat menjadi wakil rakyat di Senayan, Jakarta. Tidak harus digodog di kabupaten/kota maupun provinsi. Tidak harus merintis dan bermain cantik di semua lini.

Asal punya tiket langsung ke Senayan. Resep jitunya hanya ybs yang tahu luar dalam. Modus apa saja yang dilakukan. Pengorbanan apa saja yang disajikan. Relasi apa saja yang harus dibangun. Mental atau moral apa saja yang harus dikantongi. Aturan main apa saja yang harus ditaati.

Perjalanan nasib sebagai wakil rakyat, walau telah taat rambu-rambu, belum tentu mulus sampai final. Walau aman sampai satu periode, bahkan dua periode. Namun bukan berarti aman dan tentram.  Bola politik semakin panas, semakin liar.

Mulanya kawan. Karena beda nasib, bisa menjadi lawan. Awalnya kompak sebagai sekutu. Akibat beda curah hujan, menjelma menjadi seteru.

EVALUASI DIRI
Agar konsentrasi, fokus pengabdian tidak terganggu, maka wakil rakyat dilarang merangkap jabatan. Sebaliknya, tidak ada larangan profesi semula untuk tetap dijalankan dengan seksama, bijak serta berdaya guna, berhasil guna.

Rakyat bernasib kurang beruntung jangan bermimpi jadi wakil rakyat.  [HaèN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar