limitasi wasangka, kata
orang vs kata orang
Mendengar angka yang disebut sebagai honor, kita
bisa kaget. Entah karena kecil, besar atau faktor lain. Angka, bilangan, nomor
mempunyai lambang yang universal maupun lokal.
Maknawi lema atau kata ‘angka’ bisa membuat lema atau kata baru. Hasilnya, sebagian besar acap kita
dengar atau kita pakai. Seperti yang ada di judul. Bisa juga sebagai kata dasar
dan atau kata asalnya adalah ‘sangka’.
Berkat rajin membaca dan bergaul, tingkat
kedewasaan manusia dan atau orang Indonesia, tak terkait dengan usia/umurnya.
Faktor usia/umur, uban, uzur bukan jaminan matang jiwa, dewasa pikiran, luas
wawasan, dalam nurani, tinggi martabat serta hal lain yang filosofis.
Praktik 24 jam sebagai manusia Indonesia seutuhnya,
dari ujung jari kaki sampai ujung rambut kepala, diawali atau diakhiri dengan
muhasabah. Mawas diri sejak dini. Estimasi diri apa adanya. Evaluasi diri tanpa
perbandingan. Diharapkan mampu memelototi kuman di belahan dunia lain. Mampu mendeteksi,
mengendus jarum pentul tetangga jatuh di lantai.
Efek domino kaidah seolah ‘tanpa batas jarak, tanpa
tenggang waktu’, otak terlatih berpikir cepat tanpa akal, minus logika, hampa
nalar. Reaktif, ibarat sudah menjawab sebelum ditanya. Sudah menentukan sebelum
ditawari.
Apa pun yang ditangkap pancaindra, langsung dicerna
dengan lapang dada. Emosi tak berjalan. Tanpa proses hati. Proses yang ada
hanya pengenalan waktu. Syarat administrasi tidak dibutuhkan. Syarat khusus
tidak disyaratkan. Asal masih bisa calistung. Nyali di atas rata-rata. Artinya wajib
serba multi mégatéga. Tangan kanan harus téga terhadap tangan kiri. Lupa,
sebelumnya tangan harus téga ke kaki atau sebaliknya.
Rasa sosial, jiwa sosial sesuai skenario politik. Uajaran
kebencian menjadi titik tolak aneka ujaran yang lain. Ingat!!!, jika pelaku
ujaran kebodohan yang menistakan diri
sendiri adalah penguasa, tak dapat dipidanakan. Tak bisa diganggu gugat. [HaéN]