Halaman

Rabu, 31 Oktober 2018

limitasi wasangka, kata orang vs kata orang


limitasi wasangka, kata orang vs kata orang

Mendengar angka yang disebut sebagai honor, kita bisa kaget. Entah karena kecil, besar atau faktor lain. Angka, bilangan, nomor mempunyai lambang yang universal maupun lokal.

Maknawi lema atau kata ‘angka’ bisa membuat lema atau kata baru. Hasilnya, sebagian besar acap kita dengar atau kita pakai. Seperti yang ada di judul. Bisa juga sebagai kata dasar dan atau kata asalnya adalah ‘sangka’.

Berkat rajin membaca dan bergaul, tingkat kedewasaan manusia dan atau orang Indonesia, tak terkait dengan usia/umurnya. Faktor usia/umur, uban, uzur bukan jaminan matang jiwa, dewasa pikiran, luas wawasan, dalam nurani, tinggi martabat serta hal lain yang filosofis.

Praktik 24 jam sebagai manusia Indonesia seutuhnya, dari ujung jari kaki sampai ujung rambut kepala, diawali atau diakhiri dengan muhasabah. Mawas diri sejak dini. Estimasi diri apa adanya. Evaluasi diri tanpa perbandingan. Diharapkan mampu memelototi kuman di belahan dunia lain. Mampu mendeteksi, mengendus jarum pentul tetangga jatuh di lantai.

Efek domino kaidah seolah ‘tanpa batas jarak, tanpa tenggang waktu’, otak terlatih berpikir cepat tanpa akal, minus logika, hampa nalar. Reaktif, ibarat sudah menjawab sebelum ditanya. Sudah menentukan sebelum ditawari.

Apa pun yang ditangkap pancaindra, langsung dicerna dengan lapang dada. Emosi tak berjalan. Tanpa proses hati. Proses yang ada hanya pengenalan waktu. Syarat administrasi tidak dibutuhkan. Syarat khusus tidak disyaratkan. Asal masih bisa calistung. Nyali di atas rata-rata. Artinya wajib serba multi mégatéga. Tangan kanan harus téga terhadap tangan kiri. Lupa, sebelumnya tangan harus téga ke kaki atau sebaliknya.

Rasa sosial, jiwa sosial sesuai skenario politik. Uajaran kebencian menjadi titik tolak aneka ujaran yang lain. Ingat!!!, jika pelaku ujaran kebodohan  yang menistakan diri sendiri adalah penguasa, tak dapat dipidanakan. Tak bisa diganggu gugat. [HaéN]

Indonesia-ku, guyonmu kurang maton margo kakéhan pangkon


Indonesia-ku, guyonmu kurang maton margo kakéhan pangkon

Sensitivitas anak bangsa pribumi yang masih doyan nasi, sesuai gelombang politik yang menerpa jidatnya. Melihat orang jalan cepat, langsung ikut reaksi cepat. Menyimak lawan jenis melintas di depan hidungnya, langsung kembang kempis. Membaca ujaran kebencian, belum-belum sudah terangsang untuk menyonyorkan diri.

Di pihak lain, beda tempat sama waktu, putra-putri terbaik daerah yang benar dan baik, tetap adem ayem dengan segala ‘kata orang’. Dibilang anak sok tahu, memang lauk favoritnya tahu dan tempe. Yang mbilangin, udik yang sudah dimodifikasi habis-habisan. Pakai karoseri dalam negeri rasa asing. Warna kinclong mencorong.

Skala bangsa, pemerintah pun punya daya peka begitu pekanya. Dengar orang batuk 3x berturut-turut langsung terkena pasal menghina penguasa. Apalagi ketawa ditahan-tahan malah keluar kentut. Pasal makar menantinya.

Akhirnya, alam menguji kepekaan kita dengan uji bulanan. Sambung menyambung tanpa pemberitahuan. Mendadak digoreng di tempat agar terbukti panasnya nyata bukan rekayasa.

Kembali ke hukum berbanding lurus. Barangsiapa karena panggilan Ibu Pertiwi menjadikannya jauh dari rakyat, akan berbanding lurus dengan semakin rontoknya nilai-nilai Pancasila. Masuk ke transisi dengan dunia luar. Pasti rentan, riskan, rawan dengan sentuhan asing. [HaéN]

ketika penjahit keliling utamakan dzuhur


ketika penjahit keliling utamakan dzuhur

Entah mengapa profesi penjahit keliling menjadi otoritas kaum adam. Faktor genjot, kayuh, injak-injak pedal sepeda minimalis. Rem dengan kaki kanan, ditekankan ke ban depan. Atau faktor lain.

Bukan itu kawan. Pekerjaan jahit-menjahit bukan monopoli kaum hawa. Jiwa seni perlu dimiliki oleh modiste, bergeser ke lelaki. Pria perancang busana tampak gemulai. Beda dengan penjahit keliling memang harus sehat lahir batin. Ijazah tak diutamakan.

Ketrampilan tangan plus kaki yang prigel, menjadikan penjahit keliling didominiasi pria. Bukan impian, masa depan tetapi menjanjikan. Masalahnya, sepeda standar agaknya bukan miliknya. Ada bos sepeda jahit yang menyediakan jasa sewa. Tak beda jauh dengan juragan becak, juragan angkot.

Jam kerja tidak bebas. Ditentukan terang langit dan sinar matahari. Berpanas-panas menjadi menu harian. Sepeda tidak dilengkapi payung macam PSK (pedagang sayur keliling). Petugasnya harus ramah. Tarif kerja bisa dinego yang biasa ibu rumga lakukan. Kalau yang butuh jasanya bapak-bapak, setelah selesai baru tanya ongkos perkara.

Karena bukan jualan barang, makanan maka cara menjajakannya saya belum tahu. Agaknya, sudah punya rute tertentu. Tidak mengacak, ingat stamina dan cuaca. Faktor jarak menjadi pertimbangan. Semakin jauh mengayuh, pulang sambil memeras keringat.

Siang itu, tepatnya jelang siang. Ada suara mesin jahit dan obrolan di depan rumahku. Diselingi suara canda anak. Orang yang liwat pun, ikut nimbrung. Langganan yang pesan nanti agar mampir. Biasanya, begitu ada penjahit beraksi, langganan berdatangan. Mumpung ada petugas yang sedang praktik kerja nyata.

Soal sampah, sisa potongan kain, benang, hal lumrah. Tidak dikantongi.

Lantunan ayat suci dari masjid menghimbau pertanda mau masuk waktu sholat dzuhur. Begitu azan selesai, abang penjahit meninggalkan aktivitasnya. Sepeda ditinggal santai, tanpa was-was dan curiga. Menuju mushola terdekat. Tampak sebagai kewajaran tanpa rekayasa. Tapi bukan hal yang sepélé. Apalagi ybs masuk kategori anak muda. Senyap sementara. Saya menegakkan dzuhur di rumah.

Mungkin tak sampai satu jam kemudian, keramaian terdengar kembali. Ditambah suara bapak-bapak yang nimbrung. Begitu saja kisah ini dengan sarat pesan. [HaéN]

Selasa, 30 Oktober 2018

walau bukan isapan jempol kaki


walau bukan isapan jempol kaki

Satu fakta kejadian perkara dengan aneka berita pengkabarannya. Suka-suka yang membuat dan mengedarkan berita. Saksi mata pun jika membaca berita macam propaganda atau penggandaan ala penabur, penebar fitnah dunia, malah merasa bersalah. Merasa berada di tempat yang salah. Tidak bagi pihak tertentu yang ahli memperkeruh suasana.

Kampanye politik memang harus sarat muatan rekayasa, manipulasi, modus operandi yang jangan hiraukan batasan haram dan halal. Asal konstitusional, semua jadi halal. Masuk kategori haram, namun merupakan pilihan mayoritas atau aklamasi, menjadi milik bersama. Soal dosa, urusan di akhirat. Kepentingan umum di atas urusan dan pasal dunia.

Orang yang sama dan dengan waktu yang tidak sama, akan menghasilkan komentar yang beda atas kasus yang sama.  Lebih dari itu, waktu yang tidak beda jauh, karena sang penanya berbeda, jawabannya sesuai penanya. Basa-basi, bahasa diplomatis, klise, spontanitas atau asal jawab menjadi bukti dinamika pikiran kita.

Bersyukur, apa yang kita serap hanya sebagian kecil yang menjadi memori. Lainnya berputar di sekeliling kita atau berbaur di frekeunsi bebas. Bisa muncul di alam mimpi, alam bawah sadar. Atau pas kita butuh, rekaman kabur tadi bisa muncul membantu.

Kapasitas diri dan rekam jejak kita, bukan jaminan sebagai modal untuk meningkatkan grafik kehidupan. Sifat manusia yang mudah terkejut, mudah heran berseberangan dengan rasa ingin tahu.

Jadi, jika ada orang bertanya, sebetulnya dia sudah punya jawaban. Kita terjebak oleh “kecerdasan” orang lain. Demi rasa sosial, kita acap mengabaikan jati diri. [HaéN]

memahami ikatan semu antar genenerasi tak bertuan Nusantara


memahami ikatan semu antar genenerasi tak bertuan Nusantara

Alam bawah sadar kita sudah mampu membaca pratanda zaman. Rangkaian sejarah sudah menyuratkan dan menyiratkan adanya fenomena alam, buah busuk sebelum waktunya. Penyebab sementara yang layak diduga karena pupuk kimia over dosis. Biang kerok terdeteksi lainnya adalah adanya daun tertutupi zat kimia anti hama.

Menjadikan rumus kimia generasi penerus dan pewaris masa depan bangsa, menjadi dengan struktur baru. Entah apa namanya. Revolusi digital semakin memacu dan memicu prosesi dan suksesi daya adab.

Tanpa kuota impor, arus masuk budaya asing gratis ongkir sampai di tangan bayi dalam kandungan. Tawuran antar anak didik beda sekolah, menjadi berita ringan. Tak ada “lawan tanding”, terjadilah kenakalan generasi dengan membakar bendera tauhid. Betul-betul melebihi makna “pagar makan pagar”.

Sebagai negara multipartai, wajar kalau dasar negara disesuaikan dengan bahan kampanye. Formulasi sejahtera Indonesia, lebih menberi akses kepada pihak mana pun yang peduli dengan kondisi bangsa. Pemerintah bayangan pun sudah melampaui hakikat otonomi daerah.

Peta politik secara awam tampak warna-warni, warna pelangi, warna balonku ada lima atau warna dasar. Dari angkasa raya, merahnya Merah-Putih semakin merah. Pemuda harapan pemudi, menjadi sekedar harapan belaka. Walau bukan isapan jempol kaki. [HaéN]