sing jahat pinter
anjilat tur oleh hajat
Betul dan nyaris tak salah, judul di
atas dicuplik bebas dari Ramalan Jangka Jayabaya. Bahasa Jawa
lah, sesuai lokasi kejadian perkara dan sejarah. Yakin saja kalau lawan kata, antonim ‘jahat’ adalah ‘baik’. Sesuai kamus bahasa. Lawan
kata ‘baik’ adalah ‘buruk’.
Masuk domain reliji, agamais tauhid,
lema ‘jahat’ terkait dengan akhlak. Mengacu norma bangsa pribumi, agaknya kata ‘jahat’
terkait dengan moral.
Jangan terkecoh dengan kesan tampang
penjahat. Peredaran peradaban Nusantara, yang kena OTT KPK, bukan masuk
kategori penjahat. Atau yang tampangnya tampang penjahat. Jangan dibandingkan
kata ‘jahat’ dengan lema ‘jabat’. Walau bisa menerima awalan ‘pe’. Sehingga bisa
dilacak pasal persamaan sekaligus dalil perbedaan.
Kita ‘jahat’ sesuai kaidah bahasa Indonesia
memang tak beda jauh dengan lidah bahasa Jawa. Dimungkinkan asal muasal kata ‘jahat’
aseli Nusantara. Bukan serapan dari unsur asing.
Agar tak melantur maupun melentur
bebas bersyarat. Ayo fokus ke kata ‘jahat’. Kebetulan dibolak-balik bisa
menjadi ‘hajat’, ‘jatah’. Kata ‘hajat’ bahasa Indonesia jelas beda atau tak
sama dengan milik bahasa Jawa. Mungkin.
Lawan kata ‘tua’ adalah ‘muda’.
Orang tua pernah mengalami masa
muda. Sebalknya, orang muda belum tentu bisa sampai tua. Kok bisa. Jangan disimpulkan
kalau orang baik pernah menjadi orang jahat. Orang jahat belum tentu
akanmencapai derajat sebagai orang baik.
Pada dasarnya, setiap manusia dan
atau orang, mempunyai potensi jahat. Tergantung orangtuanya dalam mengasuh,
mendidik, mengajar.
Agak melantur dan melentur.
Sebagai ramalan cuaca yang akan
terjadi. Bermula dari kesimpulan pada saat itu. Zaman Jayabaya. Laju perkembangan
peradaban politik, judul di atas memang faktual, aktual. Dibanding periode
2014-2019 jelas tampak lebih simpel, sederhana. Terbukti sekarang fakta
sejarahnya malah lebih dahsyat, berklas, bermartabat. Seolah akan berlanjut. Alam pun sudah memberi
tanda, isyarat. Kiamat minimalis sudah diberlakukan. [HaèN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar