pada galibnya, hoaks
adalah produk unggulan penguasa
Di bagian dunia mana saja, mungkin terkecuali di
kutub utara maupun kutub selatan, yang mana dimana pemerintah tidak kuat
mengakar di rakyat. Hanya tergantung menggelantung di kebijakan partai politik.
Diyakini, mudah goncang, goyah, goyang, gagap, dsb.
Langkah proaktif, antisipatif memakai resep
tradisional. Didapat dari mana, hanya pelakunya yang tahu. Maksudnya, bagaimana
mengoperasikannya. Syarat administrasi saja sudah bikin puyeng untuk memenuhinya.
Apalagi syarat teknis. Syarat sederhana yang tètèk-bengèk bisa-bisa bisa malah
membuat tékor. Bengèk kambuh memuncak.
Bukan asumsi. Bukan fakta. Bukan barang bukti.
Walhasil di periode 2014-2019, terlacak mulai tenarnya ujaran kebencian.
Digoreng oleh pihak polisi dalam negeri. Apakah termasuk ‘resep tradisional’
untuk menciptakan suasana tertentu. Hanya sopir bajaj yang tahu. Tentu ada yang
tinggal panen. Umpan langsung disergap tuntas.
Umpan berikutnya disodorkan sambil siap dengan alat
gebuk. Kawanan tuna laras, dengan sigap menyambut gembira. Merasa menjadi
bagian penting dari penguasa. Umumnya, generasi yang belum mempunyai hak pilih,
ikut berpartisipasi aktif di media sosial. Tak pakai lama dan tidak perlu mikir. Langsung sikat, embat tanpa ampas.
Analog dengan negara yang kauh lebih melaju
ketimbang NKRI. Mereka, karena banyak negara, modus tangan kiri tebar virus
rusak dunia, tangan kanan todongkan bantuan.
Generasi Nusantara, yang cepat matang luar vs malas
gedhé, sangat menyukai sajian nikmat dunia sejak dini. Fitur politik menjadi
daya rangsang syahwat paling tradisional. Cikal bakal jadi binatang politik
sudah kentara.
Ironis binti miris. Anak bangsa yang masuk usia
non-produktif versi WHO. Yang cel darah merah politiknya tidak pernah bekerja. Mendadak
menjadi ikut beringas. Tak mau kalah garang dengan generasi yang notabene
seumur anaknya. Pratanda apa ini pembaca. [HaèN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar