dialéktika anak bangsa
pribumi, generasi donut vs generasi kulit roti
Sama-sama anak mama, anak manis, anak malas gedhé. Ada
yang sampai kadar pria tulang lunak, gemulai. Beda dengan aliran tomboy. Paling
top adalah boypung. Bahasa mana.
Di sisi lainnya. Efek domino penjajahan oleh bangsa
bulé. Merasa kebarat-baratan jika mampu makan roti diolesi keju. Roti olahan
mesin. Bahan baku lokal maupun impor. Tampilan ada yang putih mulus teksture
lembut bak bulé sampai tampak gosong kecoklatan, mengeras di bagian kulit.
Jaga kebersihan tangan. Pakai piring ceper untuk
menyiapkan selapis demi selapis roti. Sesuai
SOP, pakai pisau mentega. Rasa manis dari jelly apa saja. Buah impor menambah
rasa yakin diri. Hebatnya, demi agar pencernaan tidak kerja keras, maka kulit
roti disisihkan. Tidak dimakan. Dikunyah lembut merusak gigi.
Lepas dari sejarah donut. Bersifat universal. Ingat
alèn-alèn sekatèn Yogyakarta. Donut mini, direnteng. Dua warna. Bisa untuk
olahraga gigi. Kenapa donut lubang di tengahnya. Justru bagian tengah yang
sanggup menggoyang lidah. Tidak dijual. Khusus untuk si pembuat donut.
Klas pemakan donut terlihat pada bahan olesan. Klas
rakyat sekedar dengan tepung gula. Meningkat setapak dengan taburan misis (mirip
tahi cicak) lokal. Semakin berklas, semakin tebal olesannya. Klas berat karena
olesan lebih berat ketimbang donutnya.
Iseng, coba peras donut. Semula besar, begitu
diperas langsung ciut. Bukan gambaran generasi yang tampak garang, namun ketika
dihadang lawan main, lawan politik, lawan jenis mendadak kempès.
Hebatnya lagi, dua generasi tersebut di judul,
mereka sama-sama gemar politik abal-abal. Sok jadi loyalis penguasa. Padahal benalu,
parasit politik. Ada, tidak menambah timbangan. Tidak ada, tidak mengurangai
takaran. Ilang, ora ono sing kelangan. Pada sikon tertentu
malah bikin septictank cepat jenuh. [HaèN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar