Halaman

Jumat, 12 Oktober 2018

dialéktika anak bangsa pribumi, generasi donut vs generasi kulit roti


dialéktika anak bangsa pribumi, generasi donut vs generasi kulit roti

Sama-sama anak mama, anak manis, anak malas gedhé. Ada yang sampai kadar pria tulang lunak, gemulai. Beda dengan aliran tomboy. Paling top adalah boypung. Bahasa mana.

Di sisi lainnya. Efek domino penjajahan oleh bangsa bulé. Merasa kebarat-baratan jika mampu makan roti diolesi keju. Roti olahan mesin. Bahan baku lokal maupun impor. Tampilan ada yang putih mulus teksture lembut bak bulé sampai tampak gosong kecoklatan, mengeras  di bagian kulit.

Jaga kebersihan tangan. Pakai piring ceper untuk menyiapkan  selapis demi selapis roti. Sesuai SOP, pakai pisau mentega. Rasa manis dari jelly apa saja. Buah impor menambah rasa yakin diri. Hebatnya, demi agar pencernaan tidak kerja keras, maka kulit roti disisihkan. Tidak dimakan. Dikunyah lembut merusak gigi.

Lepas dari sejarah donut. Bersifat universal. Ingat alèn-alèn sekatèn Yogyakarta. Donut mini, direnteng. Dua warna. Bisa untuk olahraga gigi. Kenapa donut lubang di tengahnya. Justru bagian tengah yang sanggup menggoyang lidah. Tidak dijual. Khusus untuk si pembuat donut.

Klas pemakan donut terlihat pada bahan olesan. Klas rakyat sekedar dengan tepung gula. Meningkat setapak dengan taburan misis (mirip tahi cicak) lokal. Semakin berklas, semakin tebal olesannya. Klas berat karena olesan lebih berat ketimbang donutnya.

Iseng, coba peras donut. Semula besar, begitu diperas langsung ciut. Bukan gambaran generasi yang tampak garang, namun ketika dihadang lawan main, lawan politik, lawan jenis mendadak kempès.

Hebatnya lagi, dua generasi tersebut di judul, mereka sama-sama gemar politik abal-abal. Sok jadi loyalis penguasa. Padahal benalu, parasit politik. Ada, tidak menambah timbangan. Tidak ada, tidak mengurangai takaran. Ilang, ora ono sing kelangan. Pada sikon tertentu malah bikin septictank cepat jenuh. [HaèN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar