Hak Angket DPR vs
Arogansi Biaya Politik
Pesta demokrasi yang paling demokratis pun, bahkan yang dipraktikkan di
negara dwipartai, supermaju, adidaya, tetap tak akan lepas dari biaya politik.
Kampanye politik sampai pendekatan ke yang punya hak pilih, pendekatan door to door, pendekatan hati ke hati
tak akan lepas dari atau bagian mata rantai biaya politik.
Ini baru satu aspek untuk menggoalkan orang sebagai pimpinan daerah,
apalagi nasional. Di Indonesia adalah pilkada dan pilkara (pemilihan kepala
negara). Cerita lain namun mengacu hal yang sama yaitu biaya politik pada
pemilihan umum legislatif yang serentak mulai tingkat kabupaten/kota, provinsi
dan nasional. Biaya politik mulai untuk membeli tiket agar bisa ikut pemilu – loket khusus hanya ada di partai
politik – sampai upaya membeli suara
pemilih.
Singkat cerita wakil rakyat yang bermarkas di Senayan, Jakarta sangat
beupaya melaksanakan salah satu kewajibannya yaitu “memperjuangkan
peningkatan kesejahteraan rakyat”. Mengacu petunjuk keselamatan penerbangan
yaitu dalam kondisi darurat, masker oksigen otomatis jatuh dari atas Anda. Langkah
utama dan pertama bagi orangtua hendaknya memakai masker ke dirinya terlebih
dahulu, baru menolong anaknya memakaikan maskernya.
Jadi, jauh sebelum mensejahterakan rakyat
atau konstituennya di daerah pemilihannya, maka sewajarnya dirinya harus
sejahtera terlebih dahulu. Jika tampilan sebagai wakli rakyat tampak jauh dari
sejahtera, mana mungkin pemilihnya akan percaya.
Jangan heran jika tata niaga “mensejahterakan
dirinya”, mengalami ancaman, tantangan, hambatan dan
gangguan atau berbagai kendala, atau ada pihak yang ingin mengganggu jalannya
revolusi mental, tak salah jika wakil rakyat akan mengeluarkan segala ilmu,
jurus, aji-aji legal, konstitusinal untuk melawannya. Kalau perlu pakai rumus “gebug
duluan, rembug belakangan”. Wakil rakyat koq dilawan. [HaèN]