Halaman

Minggu, 30 April 2017

Hak Angket DPR vs Arogansi Biaya Politik



Hak Angket DPR vs Arogansi Biaya Politik

Pesta demokrasi yang paling demokratis pun, bahkan yang dipraktikkan di negara dwipartai, supermaju, adidaya, tetap tak akan lepas dari biaya politik. Kampanye politik sampai pendekatan ke yang punya hak pilih, pendekatan door to door, pendekatan hati ke hati tak akan lepas dari atau bagian mata rantai biaya politik.

Ini baru satu aspek untuk menggoalkan orang sebagai pimpinan daerah, apalagi nasional. Di Indonesia adalah pilkada dan pilkara (pemilihan kepala negara). Cerita lain namun mengacu hal yang sama yaitu biaya politik pada pemilihan umum legislatif yang serentak mulai tingkat kabupaten/kota, provinsi dan nasional. Biaya politik mulai untuk membeli tiket agar bisa ikut pemilu loket khusus hanya ada di partai politik sampai upaya membeli suara pemilih.

Singkat cerita wakil rakyat yang bermarkas di Senayan, Jakarta sangat beupaya melaksanakan salah satu kewajibannya yaitu “memperjuangkan peningkatan kesejahteraan rakyat”. Mengacu petunjuk keselamatan penerbangan yaitu dalam kondisi darurat, masker oksigen otomatis jatuh dari atas Anda. Langkah utama dan pertama bagi orangtua hendaknya memakai masker ke dirinya terlebih dahulu, baru menolong anaknya memakaikan maskernya.

Jadi, jauh sebelum mensejahterakan rakyat atau konstituennya di daerah pemilihannya, maka sewajarnya dirinya harus sejahtera terlebih dahulu. Jika tampilan sebagai wakli rakyat tampak jauh dari sejahtera, mana mungkin pemilihnya akan percaya.

Jangan heran jika tata niaga “mensejahterakan dirinya”, mengalami ancaman, tantangan, hambatan dan gangguan atau berbagai kendala, atau ada pihak yang ingin mengganggu jalannya revolusi mental, tak salah jika wakil rakyat akan mengeluarkan segala ilmu, jurus, aji-aji legal, konstitusinal untuk melawannya. Kalau perlu pakai rumus “gebug duluan, rembug belakangan”. Wakil rakyat koq dilawan. [HaèN]

DPR/Anggota DPR Mengutamakan Hak Formal Daripada Kewajiban Moral



DPR/Anggota DPR Mengutamakan Hak Formal Daripada Kewajiban Moral

UU tentang MPR, DPR. DPR, dan DPRD dikenal dengan sebutan UU MD3 memang dinamis, luwes, akomodatif karena harus menyesuaikan diri, mengimbangi dengan perkembangan hukum dan kebutuhan hukum masyarakat serta sistem pemerintahan presidensial.

Hak DPR dan Hak dan Kewajiban Anggota diatur dengan pasal tersendiri. Hak yang melekat pada DPR dalam melaksanakan wewenang dan tugasnya adalah hak interpelasi, hak angket, dan hak menyatakan pendapat.

Begitu digdaya daya cengkeram Hak DPR, sehingga muncullah UU 42/2014 masih tentang MD3. Beberapa ketentuan yang perlu disempurnakan adalah ketentuan mengenai penggunaan hak interpelasi, hak angket, hak menyatakan pendapat atau hak anggota DPR mengajukan pertanyaan Ironisnya, tak semua anggota DPR “hafal dan memahami” perubahan pasal aturan main menggunakan Hak DPR.

Ada baiknya kita simak yang tersurat di Pasal 79 ayat (3) UU 17/2014 tentang MD3 :
Hak angket sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b adalah hak DPR untuk melakukan penyelidikan terhadap pelaksanaan suatu undang-undang dan/atau kebijakan Pemerintah yang berkaitan dengan hal penting, strategis, dan berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang diduga bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.

Mau cari kata kuncinya, agaknya kemungkinan besar semuanya merupakan kata/kalimat kunci. Kombinasi bahasa hukum dengan bahasa politik.

Dalam praktiknya, penggunaan Hak Angket terkait mégakasus,  mégatéga, mégakorupsi KTP-elektronik, ternyata hanya kepentingan dan kebutuhan Komisi III DPR RI. Jauh dari kandungan yang tersirat dengan makna Hak Angket.

Langkah catur politik DPR mengandalkan Hak Angket, tidak sekedar “ada udang di balik batu”. Ada skenario, konspirasi politik untuk mengamankan dirinya nanti. Bukannya alih-alih memberantas korupsi secara tuntas di masa kontrak politiknya yang tinggal paruh akhir. [HaèN]

Bukti Disorientasi Syahwat Politik Kawanan DPR



Bukti Disorientasi Syahwat Politik Kawanan DPR

Sasaran tembak penggunaan hak angket oleh kawanan anggota DPR cuma hanya ditujukan agar KPK menyiarkan, menayangkan rekaman BAP dari Miryam S Haryani dari Fraksi Hanura terkait mégakasus,  mégatéga, mégakorupsi KTP-elektronik, menurut logika rakyat yang tanpa pendidikan politik, malah memancing rasa heran sambil geleng-geleng kepala.

Kalau niat mulia, cita-cita luhur agar pemberantasan, pembongkaran mégakorupsi KTP-elek tidak sekedar “hangat-hangat tahi kerbau”, dipastikan pihak aparat penegak hukum perlu diingatkan. Kalau perlu sebagai wakil rakyat se-Nusantara, bisa memberikan waktu kepada aparat penegak hukum.

Bahasa jelasnya, apakah kawanan DPR memang mau melindungi tersangka, tertuduh, terdakwa pelaku tipikor – dengan asas rasa kesetikawanan politik – secara konstitusional, selagi masih berkuasa.  [HaèN]

Sabtu, 29 April 2017

gonjang-ganjing di palataran Nusantara, kepastian hukum pilih bulu vs stabilitas politik tanpa bulu



gonjang-ganjing di palataran Nusantara, kepastian hukum pilih bulu vs stabilitas politik tanpa bulu

Apapun menu politik di era mégatéga yang tersaji di panggung politik cepat saji, sudah kadaluwarsa, basi. Rakyat tanpa pendidikan politik sudah paham bagaimana jalannya drama, dagelan, sandiwara politik. Butuh berapa episode dan bagaimana akhir cerita, anak ingusan pun sudah bisa menduga.

Konsekuensi logis dari negara multipartai, memang sudah dimanfaatkan oleh penguasa secara optimal, menerus dan dengan langkah antisipatif. Jangan takjub kalau bagaimana pola dan modus operandi penguasa mengambil sikap terhadap elemen masyarakat, penduduk, warga negara atau gerakan moral yang unjuk rasa, unjuk raga di tempat umum.

Wajah keamanan dalam negeri bukannya ada daerah ramah anak, jalur aman bagi pejalan kaki, transportasi umum yang nyaman bagi penumpang namun bagaimana daya respon aparat keamanan terhadap keamanan, kenyamanan penguasa.

Aparat keamanan mampu menjelma menjadi kekuatan represif total.loyal bagi penguasa dan/atau pengusaha. Konflik kepentingan politik, seberapapun skala gempa politik, tetap dirasakan oleh rakyat.

Efek domino negara multipartai antara lain wabah multikonflik. Konflik horizontal yang seolah membenturkan rakyat dengan penguasa. Konflik vertikal antar penyuka ideologi sejenis adalah untuk mengamankan dirinya dari tuntutan dan jeratan pasal hukum.

Ketetapan niat DPR menggulirkan hak angket terhadap KPK semakin membuktikan jati diri politik lokal sudah tanpa ideologi.

Rakyat hanya menjadi pemirsa yang setia, bijak dan tak banyak komentar apalagi menuntut. Namun jika rakyat diam, tak ambil pusing, tak mau peduli terhadap kemungkaran politik, azab dari Allah akan menimpa semua. [HaèN]