Indonesia di jalur rawan
dan tingkungan maut
Berkat NKRI dikenal dengan status, predikat, kategori negara serba multi,
mau tak mau, menjadi negara yang diperhitungkan tajinya di jagad raya. Cuma kalah
promo dan kurang garang di banding negara Israel.
Negara paling besar populasinya berdiri paling depan berkacak pinggang di
belakang Indonesia, menjadikan pemimpin bangsa semakin tepuk dada, busung dada
dan besar kepala disertai hidung kembang-kempis menahan puja-puji, sanjungan
dan rayuan jurus kungfu (ditelikung dengan fulus) tipu hidup-hidup.
Salah banyak dari perwujudan negara serba multi adalah multipilot. Di dalam negeri saja, nyaris 24
jam para pilot bergantian pegang komunikas, koordinasi, dan kendali. Ironis binti
miris, mereka pun merupakan perpanjangan tangan dari kawan negara paling
bersahabat.
Menyelesaikan paruh akhir kontrak politik 2014-2019, lazim tukar lapangan
bak laga sepak bola, juga dimarakkan bukan pergantian pemain. Kalau bisa. Kendati
NKRI paceklik negarawan, ora opo-opo
mbokdé. Utamakan surplus pemain, pelaku, pegiat, penggila, pekerja partai
dari berbagai strata, kasta, status.
Bayang-bayang masa depan berwujud pemilihan umum presiden dan wakil
presiden tahun 2019, menjadi fokus utama dan daya tarik utama. Pihak yang
merasa bisa, merasa berhak, merasa punya andil, modal sudah siap-siap. Ada yang
jujur, terang-terangan pasang kuda-kuda. Tak sedikit yang sudah menunjukkan
watak aselinya, menampilkan karakter dasarnya.
Tak terkecuali Jokowi minus JK sudah mengamankan jalur darat dari segala
upaya makar, kudeta di tengah jalan. Jalur udara sudah dalam genggaman tangan. Tol
Laut menjadi andalan politik luar negeri. Sebagai bukti taat asas. Diperkuat reklamasi
pantai utara ibukota negara, Jakarta. Sudah ada kontrak politik lanjutan dengan
bandar politik. Jangan lupa kawan, cakar naga merah sudah siap-siap menyemprit
pemain yang mau menyempal, atau main sesuai kehendak dan keinginan hasrat kaki sendiri,
sak enak wudelé déwé. [HaèN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar