Halaman

Jumat, 14 April 2017

Indonesia Darurat Subsidi Koruptor

Indonesia Darurat Subsidi Koruptor

Tak salah kalau kejahatan tindak pidana korupsi (tipikor), sama tuanya atau parelel dengan kejahatan pembunuhan, penghilangan nyawa orang lain, sejak zaman nabi Adam a.s. Bisa kita simak kisah pembunuhan pertama, oleh petera nabi Adam a.s yang bernama Qabil, terhadap saudaranya yang bernama Habil.

Habil dan Qabil sama-sama melakukan persembahan korban. Hanya saja persembahan korban Habil yang diterima. Singkat kisah, Qabil membunuh Habil.

Di zaman revolusi media sosial, indikasi negara multipartai, maka kadar  iri hati, skala dengki melihat teman sejawat, kawan seperjuangan, rekan kerja, sesama kader partai, konco déwé, bolo podo kéréné, tampak lebih makmur dan sejahtera, menjadi pemicu dan pemacu tipikor.   

Salah satu dampak terukur tipikor adalah pada kerugian keuangan negara.

Oknum yang menyandang status terpidana korupsi, tentu tak akan mau menjadi korban sendiri. Kalau sekedar “menyanyi” tidak masalah. Bahkan ybs umbar cerita tentang riwayat korupsi yang dilakukan secara kolektif dan kolegial. Korupsi berjamaah. Uang hasil korupsi agar tampak kecil tetapi bisa berkembang biak dengan sendirinya, adalah dengan mata uang asing.

Hebatnya lagi, selagi masih dalam tahao penyidikan oleh KPK, cikal bakal koruptor bisa tega melakukan apa saja. Yang penting namanya jangan terseret ke dalam kasus yang sedang dibongkar.

Seberapa kecil uang hasil korupsi. Kalau hasil korupsi hanya <Rp10 juta masuk kategori korupsi gurem, yang paling kecil. Andai berhasil korupsi Rp 25 miliar atau lebih, mendapat gelar koruptor klas kakap.

Kita simak Laporan “Korupsi Struktural; Analisis Database Korupsi (2001-2015)”, FEB UGM, 5 April 2016.

Salah satu paparan yang patut disimak adalah hukuman finansial kepada terpidana korupsi cenderung ‘tajam ke atas tapi tumpul ke bawah’. Koruptor kelas gurem dihukum rata-rata 3.428% lebih tinggi dari kerugian negara yang diciptakan. Beda dengan koruptor kelas kakap hanya dihukum rata-rata 8,3% dari nilai kerugian negara yang diciptakan.

Akibatnya, nilai kerugian negara (biaya sosial eksplisit) Rp 203,9 T, namun total hukuman finansial hanya Rp 21,26 T (10,42%). Belum menghitung Biaya Sosial Korupsi!.

Lantas siapa yang berkewajiban menanggung kerugian sesedikit Rp 203,9 T – Rp 21,26 T = Rp 182,64 T. Belum lagi kewajiban Pemerintah Jokowi plus JK membayar utang. Dari berbagai sumber yang memang dipercaya, disebutkan bahwa utang luar negeri (ULN) Indonesia pada akhir kuartal III 2016 sebesar 325,3 miliar dolar AS (sekitar Rp 4.358 triliun). Jumlah ini mengalami kenaikan 7,8 persen dibandingkan periode sama pada tahun lalu (year on year/yoy). [HaèN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar