Indonesia Darurat
Subsidi Koruptor
Tak salah
kalau kejahatan tindak pidana korupsi (tipikor), sama tuanya atau parelel
dengan kejahatan pembunuhan, penghilangan nyawa orang lain, sejak zaman nabi
Adam a.s. Bisa kita simak kisah pembunuhan pertama, oleh petera nabi Adam a.s
yang bernama Qabil, terhadap saudaranya yang bernama Habil.
Habil dan Qabil
sama-sama melakukan persembahan korban. Hanya saja persembahan korban Habil
yang diterima. Singkat kisah, Qabil membunuh Habil.
Di zaman
revolusi media sosial, indikasi negara multipartai, maka kadar iri hati, skala dengki melihat teman sejawat,
kawan seperjuangan, rekan kerja, sesama kader partai, konco déwé, bolo podo kéréné, tampak lebih makmur dan sejahtera,
menjadi pemicu dan pemacu tipikor.
Salah satu dampak
terukur tipikor adalah pada kerugian keuangan negara.
Oknum yang
menyandang status terpidana korupsi, tentu tak akan mau menjadi korban sendiri.
Kalau sekedar “menyanyi” tidak masalah. Bahkan ybs umbar cerita tentang riwayat
korupsi yang dilakukan secara kolektif dan kolegial. Korupsi berjamaah. Uang hasil
korupsi agar tampak kecil tetapi bisa berkembang biak dengan sendirinya, adalah
dengan mata uang asing.
Hebatnya lagi,
selagi masih dalam tahao penyidikan oleh KPK, cikal bakal koruptor bisa tega
melakukan apa saja. Yang penting namanya jangan terseret ke dalam kasus yang
sedang dibongkar.
Seberapa kecil
uang hasil korupsi. Kalau hasil korupsi hanya <Rp10 juta masuk kategori
korupsi gurem, yang paling kecil. Andai berhasil korupsi Rp 25 miliar atau lebih,
mendapat gelar koruptor klas kakap.
Kita simak
Laporan “Korupsi Struktural; Analisis Database Korupsi (2001-2015)”, FEB UGM, 5
April 2016.
Salah satu
paparan yang patut disimak adalah hukuman finansial kepada terpidana korupsi cenderung
‘tajam ke atas tapi tumpul ke bawah’. Koruptor kelas gurem dihukum rata-rata
3.428% lebih tinggi dari kerugian negara yang diciptakan. Beda dengan koruptor
kelas kakap hanya dihukum rata-rata 8,3% dari nilai kerugian negara yang
diciptakan.
Akibatnya,
nilai kerugian negara (biaya sosial eksplisit) Rp 203,9 T, namun total hukuman
finansial hanya Rp 21,26 T (10,42%). Belum menghitung Biaya Sosial Korupsi!.
Lantas siapa
yang berkewajiban menanggung kerugian sesedikit Rp 203,9 T – Rp 21,26 T = Rp
182,64 T. Belum lagi kewajiban Pemerintah Jokowi plus JK membayar utang. Dari berbagai
sumber yang memang dipercaya, disebutkan bahwa utang luar negeri (ULN) Indonesia pada akhir kuartal III
2016 sebesar 325,3 miliar dolar AS (sekitar Rp 4.358 triliun). Jumlah ini
mengalami kenaikan 7,8 persen dibandingkan periode sama pada tahun lalu (year on year/yoy). [HaèN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar