dadu politik Jokowi dan gebug
dulu rembug kemudian
Tidak banyak salahnya kawan, ujar kesal hati, tindak rajuk, ungkapan isi
perut Jokowi melihat kenyataan pahit. Mulai investasi dari Arab Saudi yang
meleset jauh dari naluri politiknya. Belum meleleh dongkolnya hati ini, Jkowi
malah senandung rindu, diperparah dengan fakta putaran kedua pilkada DKI Jakarta,
Rabu 19 April 2017.
Gundah politiknya RI-1 karena tidak bisa menyelesaikan ‘amanah’ dari sang
juragan dari tanah seberang, sebut saja Sang Naga Merah atau imperialis kuning.
Kendati biaya politik sudah bebas aktif, sampai lingkaran pertamanya sudah
mati-matian melakukan tindak turun tangan, minimal urun tindak tutur, hasilnya
jauh dari rekayasa di atas kertas.
Tak kurang gencarnya dukungan arwah leluhur untuk memuluskan, meluluskan
sang petahana gubernur DKI Jakarta untuk memperpanjang masa jabatannya. Soal rekam
jejak, pengalaman sebagai syarat administrasi “berpengalaman dengan jabatan
setingkat, sejenis” dinilai belum utuh. Walau dalam satu periode karir
meningkat, dari wagub jadi gubernur.
Yang utuh atau bahkan melimpah yaitu hasil “uji keloyalan dan kepatuhan”
terhadap presiden kelima RI, top markotop. Wejangan politik, petuah politik
dari mulut langsung presiden kelima RI yang sekaligus wakil presiden kedelapan,
adalah harus tirakat, mengunjungi tempat wingit, mertapa atau mertopo – tetapi yang jelas bukan meratap-ratap
bagaikan ratapan ibu tiri karena uang dapur tekor atau bang Thoyib tidak pulang
kandang – agar mengikuti jejak karir
politiknya. Banyak persamaan, dalam satu periode bisa naik kasta. Mau lanjut ke
periode berikutnya, bermodal rekam jejak periode sebelumnya, enteng, girangnya
presiden kelima RI. Apalagi lawan politiknya di pilpres 2004 dan 2009 adalah
bekas pembantu presiden atau tepatnya bekas pembantunya. Persamaan nasib koq menerus,
berlanjut.
Kendati nasi sudah terlanjur jadi bubur, malah bisa diolah menjadi menu
baru dan santapan yang mampu menggoyangkan lidah agar semakin tak bertulang. [HaèN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar