Halaman

Senin, 03 April 2017

stigma makar modus anyar penistaan demokrasi



stigma makar modus anyar penistaan demokrasi

Ujar sentimen netral ki dalang Sobopawon, katanya salah satu ciri demokrasi Pancasila di negeri tetangga adalah negara dan pemerintah menjamin penduduk untuk menyampaikan pendapat dan perbedaan pendapat. Apa guna wakil rakyat. Ciri utama wakil rakyat adalah yang ngomong tidak mikir vs yang miir tidak ngomong.

Sejauh aspirasi rakyat tidak ada hubungan dengan fungsi legislasi, anggaran dan pengawasan, otomatis kawanan wakil rakyat di DPR adem-ayem, duduk manis, berpangku tangan, goyang kaki.

Kalau sabar menunggu wakil rakyat untuk bertindak tanpa diminta, yan terjadi adalah :

Pertama. Sudah kebakaran jenggot berulang kali, tetap tak sadar diri. Masih beruntung, kumisnya tidak terbakar. Jenggor terbakar habis, masih bisa tumbuh kembali.

Kedua. Tahu-tahu sudah sore, tetap tidak ada tindakan apapun. Bersyukur masih ada esok hari. Semoga lebih cerah. Sekarang saatnya reses. Besok apapun yang akan terjadi, ikuti saja. Yang penting sudah datang, duduk, diam dan mengigau di siding paripurna.

Ketiga. Sudah tahu bau gosong, tetap tidak diangkat. Nasib baik karena gosongpun tetap enak disantap. Toh baru uji coba api. Masih banyak bahan baku.

Lengkap sudah penderitaan rakyat.

Rakyat sebagai manusia atau masyarakat ekonomi sudah mendapat stigma permanent underclass.

Rakyat sebagai manusia atau masyarakat politik sudah mendapat stigma uneducated people.

Rakyat sebagai manusia atau masyarakat sipil sudah mendapat stigma pemakar.

Di negeri sendiri ternyata politik transaksional, politik balas jasa, balas budi vs politik balas dendam, malah menyuburkan “pagar makan tanaman”. Muncul manusia politik atau penguasa pemakan segala. Lebih ganas dari harimau lapar ang tak akan memangsa anaknya [HaèN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar