stigma makar modus anyar
penistaan demokrasi
Ujar sentimen netral ki dalang
Sobopawon, katanya salah satu ciri demokrasi Pancasila di negeri tetangga
adalah negara dan pemerintah menjamin penduduk untuk menyampaikan pendapat
dan perbedaan pendapat. Apa guna wakil rakyat. Ciri utama wakil rakyat adalah
yang ngomong tidak mikir vs yang miir tidak ngomong.
Sejauh aspirasi rakyat tidak ada
hubungan dengan fungsi legislasi, anggaran dan pengawasan, otomatis kawanan
wakil rakyat di DPR adem-ayem, duduk manis, berpangku tangan, goyang kaki.
Kalau sabar menunggu wakil rakyat untuk
bertindak tanpa diminta, yan terjadi adalah :
Pertama. Sudah kebakaran jenggot berulang kali, tetap tak sadar
diri. Masih beruntung, kumisnya tidak terbakar. Jenggor terbakar habis, masih
bisa tumbuh kembali.
Kedua. Tahu-tahu sudah sore, tetap tidak ada tindakan apapun. Bersyukur
masih ada esok hari. Semoga lebih cerah. Sekarang saatnya reses. Besok apapun
yang akan terjadi, ikuti saja. Yang penting sudah datang, duduk, diam dan
mengigau di siding paripurna.
Ketiga. Sudah tahu bau gosong, tetap tidak diangkat. Nasib baik
karena gosongpun tetap enak disantap. Toh baru uji coba api. Masih banyak bahan
baku.
Lengkap sudah penderitaan rakyat.
Rakyat sebagai manusia atau masyarakat
ekonomi sudah mendapat stigma permanent
underclass.
Rakyat sebagai manusia atau masyarakat politik
sudah mendapat stigma uneducated people.
Rakyat sebagai manusia atau masyarakat sipil
sudah mendapat stigma pemakar.
Di negeri sendiri ternyata politik
transaksional, politik balas jasa, balas budi vs politik balas dendam, malah
menyuburkan “pagar makan tanaman”. Muncul manusia politik atau penguasa pemakan segala. Lebih
ganas dari harimau lapar ang tak akan memangsa anaknya [HaèN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar