Halaman

Minggu, 16 April 2017

Hukum Menggonggong, Korupsi Jalan Terus



Hukum Menggonggong, Korupsi Jalan Terus

Delik korupsi memang sebagai tindak kejahatan luar biasa (extra ordinary crime), mau tak mau,  memerlukan ekstra energi, membutuhkan usaha, upaya, ikhtiar dan kerja nyata yang luar biasa pula untuk memberantasnya. Terlebih subyek tindak pidana korupsi (tipikor) selam ini didominasi oleh kepolisian, peradilan, partai politik, dan parlemen serta ASN/PNS. Yang masih aman-aman saja adalah korporasi atau maupun pihak swasta.

Perlawanan para koruptor dan calon koruptor sampai detik ini, seolah sah, legal secara konstitusional. Sempat tercatat di ingatan rakyat, katakan apa adanya, mulai niat kawanan wakil rakyat di Senayan untuk merevisi UU KPK. Episode tragedi “Buaya vs Cicak”, kriminalisasi pimpinan KPK, teror fisik kepada anggota KPK yang dianggap kriminal ringan. Jangan berasumsi tentu masih banyak kasus untuk memperlemah pemberantasan korupsi yang tidak mencuat ke permukaan. Kadar korupsi di Indonesia sudah masuk tatanan mégakorupsi.

Menurut Transparency International, terdapat pertalian erat antara korupsi dan kualitas serta kuantitas kejahatan. Rasionya, ketika korupsi meningkat, angka kejahatan yang terjadi juga meningkat. Sebaliknya, ketika korupsi berhasil dikurangi, maka kepercayaan masyarakat terhadap penegakan hukum (law enforcement) juga meningkat. Jadi bisa dika­takan, mengurangi korupsi dapat juga (secara tidak langsung) mengurangi kejahatan lain dalam masyarakat.

Sayang, perilaku korupsi seolah sudah menjadi menu harian bangsa, penduduk dan warga negara Indonesia. Korupsi dianggap sebagai hal biasa, wajar dan lumrah. Apalagi jika dengan alasan karena faktor ekonomi, kebutuhan perut. Atau memang sudah suatu sistem, ibarat “di kandang kambing mengembik, di kandang kuda meringkik”.

Kendati ada kesepakatan semua komponen anak bangsa yang memposisikan korupsi sebagai musuh bersama (common enemy), dalam arti angka kejahatan korupsi akan surut jika timbul kesadaran masyarakat (marginal detterence). Masalahnya, kondisi ini hanya terwujud jika tingkat kesadaran hukum dan kesejahteraan masyarakat sudah memadai. Kita merasa beruntung bahwa Indonesia tidak masuk kuadran : semakin tinggi tingkat korupsi, semakin besar pula kejahatan. Artinya, kadar korupsi berbanding lurus dengan angka kejahatan.

Akankah korupsi akibat dari negara multipartai, efek domino dari sistem pemerintahan yang abu-abu, produk utama atau produk sampingan politik transaksional, praktik demokrasi berbunyi kedaulatan ada di tangan partai penguasa, sampai maraknya kejahatan politik dengan berbagai versi, varian.

Kendati kewajiban negara untuk mengkriminalisasi berbagai perbuatan yang dapat dikategorikan sebagai tipikor termasuk mengembangkan peraturan perundang-undangan yang dapat memberikan hukuman (pidana) untuk berbagai tipikor, juga menitikberatkan pada kriminalisasi korupsi yang terjadi di sektor swasta, yang walau sudah ditetapkan dan diterapkan, namun karena semboyan “hukum dibuat untuk dilanggar” sudah ketinggalan zaman, menjadi pihak pembuat hukum merangkap sebagai pelanggar hukum. Ini baru nyata. Walhasil, koruptor tetap “bebas melenggang kangkung di bumi pertiwi”.

Dilema pemberantasan korupsi adalah : rezim pemerintah melahirkan tipikor vs karena tipikor maka pemerintah ini ada.[HaèN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar