DPR/Anggota DPR Mengutamakan Hak Formal Daripada
Kewajiban Moral
UU tentang MPR, DPR. DPR, dan DPRD –
dikenal dengan sebutan UU MD3 –
memang dinamis, luwes, akomodatif karena harus menyesuaikan diri, mengimbangi dengan
perkembangan hukum dan kebutuhan hukum masyarakat serta sistem pemerintahan presidensial.
Hak DPR dan Hak dan
Kewajiban Anggota diatur dengan pasal tersendiri. Hak yang melekat pada DPR
dalam melaksanakan wewenang dan tugasnya adalah hak interpelasi, hak angket,
dan hak menyatakan pendapat.
Begitu digdaya daya cengkeram
Hak DPR, sehingga muncullah UU 42/2014 masih tentang MD3. Beberapa ketentuan yang perlu disempurnakan adalah
ketentuan mengenai penggunaan hak interpelasi, hak angket, hak menyatakan
pendapat atau hak anggota DPR mengajukan pertanyaan Ironisnya,
tak semua anggota DPR “hafal dan memahami” perubahan pasal aturan main
menggunakan Hak DPR.
Ada baiknya kita simak
yang tersurat di Pasal 79 ayat (3) UU 17/2014 tentang MD3 :
Hak
angket sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b adalah hak DPR untuk
melakukan penyelidikan terhadap pelaksanaan suatu undang-undang dan/atau
kebijakan Pemerintah yang berkaitan dengan hal penting, strategis, dan
berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang
diduga bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.
Mau cari kata kuncinya,
agaknya kemungkinan besar semuanya merupakan kata/kalimat kunci. Kombinasi bahasa
hukum dengan bahasa politik.
Dalam praktiknya,
penggunaan Hak Angket terkait mégakasus, mégatéga, mégakorupsi
KTP-elektronik, ternyata hanya kepentingan dan kebutuhan Komisi III DPR RI. Jauh
dari kandungan yang tersirat dengan makna Hak Angket.
Langkah catur politik DPR mengandalkan Hak Angket, tidak sekedar “ada udang
di balik batu”. Ada skenario, konspirasi politik untuk mengamankan dirinya
nanti. Bukannya alih-alih memberantas korupsi secara tuntas di masa kontrak
politiknya yang tinggal paruh akhir. [HaèN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar