Ketika DPD Bermain
Politik atau Korban Politik Praktis
Menghadapi paruh akhir periode
2014-2019, menjadikan penguasa bisa melakukan tindakan politik apa saja dengan
berbagai versi. Bukannnya mempertahankan kinerja atau mengejar ketinggal
kinerja yang tampak unggul di atas kertas. Fokus dan titik perhatian utama
pemerintah Jokowi plus/minus JK adalah bagaimana mematut diri, mempersipakan
diri agar masih mempunyai energi positif tampil di pemilihan umum presiden dan
wakil presiden tahun 2019.
Banyak pihak, tentunya dari kekuatan
politik tertentu, yang menggadang agar Jokowi maju di 2019. Konsep politik
transaksional sudah disusun sedemikian rinci, sehingga tak ada celah untuk
tidak suskes. Dukungan dari partai politik dan pihak yang sudah dipersiapkan sebagai
pengamanan merupakan dukungan formal, konstitusional. Jangan lupa modal dari
pemodal lama, pasti akan lebih agresif dan terang-terangan.
Alat pelaksana kedaulatan rakyat,
sebut saja Dewan Perwakilan Daerah (DPD) mendapat imbas gonjang-ganjing politik.
Semangat daya juang DPD utuk mengaktualisasikan prinsip saling mengawasi dan menyeimbangkan (checks
and balances) baik dengan lembaga eksekutif maupun antar lembaga legislatif,
sebagai prasyarat bekerjanya demokrasi di Indonesia, malah berjalan di tempat.
Kemanfaatan DPD untuk menyerap dan
memperjuangkan aspirasi rakyat dan daerah sesuai dengan tuntutan perkembangan
kehidupan berbangsa dan bernegara, seolah tergantung kebijakan politik negara.
Sebetulnya memang
demikian ada dan praktiknya kalau hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan/perwakilan didominasi oleh kepentingan politik penguasa. Salah
satu tolok ukur sukses presiden adalah penguasaan, pengendalian atas parlemen.
Pasca ketua DPD 2014-2019
menjadi korban OTT KPK, maka DPD tidak sekedar di persimpangan gejolak politik
dalam negeri, tetapi sudah menentukan sikap sebagai pemain. Sudah terlanjur
basah, mau apa lagi. Pantang surut dan balik. [HaèN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar