Halaman

Selasa, 18 April 2017

béla Garuda dari cengkeraman cakar Naga



béla Garuda dari cengkeraman cakar Naga

Bukan salah bunda mengandung, tapi salah negara mengundang “tamu tak diundang” untuk tidak sekedar bertandang ke rumah kita. Jelas dua kali jadi sponsor makar, kudeta, pemberontakan bersenjata yang dilakukan oleh PKI. Pertama, Madiun Affair September 1948 dan kedua, G30S (Gerakan 30 September) 1965. Bangsa ini bukannya terbuka matanya dari makna cengkeraman cakar Naga.

Pasca makar PKI 1948 dan 1965, kemana saja anak cucu ideologis mereka. Karena ideologi, faham politik tak ada matinya. Tidak perlu wadah formal, bisa menjadi parasit, benalu politik.

Masih ingatkah kawan akan Tap MPRS XXV/1966 tentang PEMBUBARAN PARTAI KOMUNIS INDONESIA, PERNYATAAN SEBAGAI ORGANISASI TERLARANG DISELURUH WILAYAH NEGARA REPUBLIK INDONESIA BAGI PARTAI KOMUNIS INDONESIA DAN LARANGAN SETIAP KEGIATAN UNTUK MENYEBARKAN ATAU MENGEMBANGKAN FAHAM ATAU AJARAN KOMUNISME/MARXISME-LENINISME. Termasuk ingatan kita dengan UU 3/1975 tentang PARTAI POLITIK DAN GOLONGAN KARYA. Artinya, dengan UU 3/1975 hanya ada dua partai politik yaitu Partai Persatuan Pembangunan dan  Partai Demokrasi Indonesia; serta satu Golongan Karya.

Kilas balik fakta sejarah pemilu 1955.

Hasil Pemilu 1955 untuk Anggota DPR, Partai Komunis Indonesia (PKI) menempati urutan keempat. Memperoleh 6.179.914 suara  atau 16,36%. Mendapatkan jatah kursi sebanyak 39, dari total 257.

Hasil Pemilu 1955 untuk Anggota Konstituante. Partai Komunis Indonesia (PKI) menempati urutan keempat. Memperoleh 6.232.512 suara atau 16,47%.  Mendapatkan jatah kursi sebanyak 80, dari total 514.

Salah satu alenia Penjelasan UU 3/1975 adalah :
Larangan menerima bantuan dari pihak asing dan atau memberi bantuan kepada pihak asing bertujuan untuk menjamin kepribadian nasional serta kemerdekaan nasional yang utuh dan bersatu. Ini tidak berarti bahwa bangsa Indonesia mengurung diri, tidak mengadakan hubungan apapun dengan bangsa-bangsa lain, untuk itu tetap ada kesempatan bagi Partai Politik dan Golongan Karya menerima bantuan dari pihak asing dan atau memberi bantuan kepada pihak asing sepanjang tidak merugikan kepentingan Bangsa dan Negara.

Ironis binti miris, politik dalam negeri yang juga politik luar negeri yang bebas aktif, diterjemahkan sebagai  kerelaan hati untuk menyediakan kepala sendiri untuk keset, pijakan bangsa asing. Dibuktikan dengan proses rekonsiliasi presiden kelima RI di negara paling bersahabat, dengan cara menari mesra, tari persahabatan dengan ketua umum partai komunis, sekaligus penguasa tunggal negara Cina.

Pintu terbuka lebar secara formal, konstitusional saat pesta demokrasi 2014. Investasi politik dari negara tirai bambu sudah dirintis sejak atau mulai di ibukota NKRI. Saat pilkada DKI 2012. Tak heran “sejarah merah”, sudah resmi menjadi bagian kehidupan penyelenggara negara.

Singkat kata, masa depan bangsa dan negara ini sudah digadaikan oleh penguasa sekarang. Imbalannya karena syahwat politik untuk bisa lanjut di periode berikutnya. Banyak pihak yang sudah terbeli, jiwanya dikontrak, minimal terbuai iming-iming nikmat dunia. Banyak pihak, tidak pandang bulu apakah sipil atau militer sudah terang benderang pasang badan. Siap berjibaku, berani mati demi memerahkan Nusantara. Semua siap menunggu, menanti, menerima kedatangan “tamu agung”. Bahkan siap jadi jongos, budak, babu, pelayan, kacung, pesuruh di negeri sendiri.

Jabatan kepala negara yang semula identik dengan petugas partai, naik kasta menjadi perpanjangan tangan cakar Naga.

Kekuatan terakhir pada doa rakyat yang tertindas, terintimidasi di negeri sendiri, dizalimi dan dilalimi oleh orang pilihannya sendiri atau bangkitnya gerakan rakyat, masyarakat, penduduk, warga negara yang masih cinta NKRI. Aamiin YRA. [HaèN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar