Halaman

Minggu, 16 April 2017

nilai tawar koruptor, kriminal ringan vs makan berat



nilai tawar koruptor, kriminal ringan vs makan berat

Cara sederhana mendeteksi seberapa ampuh hukum di suatu negara diterapkan, ditegakkan, cukup simak proses hukum terhadap kasus korupsi. Lebih komplit lagi, apa saja langkah antisipasi, upaya preventif atau pencegahtangkalan, pemberantasan sampai kemungkinan gerakan nasional mitigasi bencana korupsi.

Atau bisa mencontoh negara Singapura dan Hongkong. Kedua pemerintah negara ini selama kurun waktu kurang lebih 50 tahun telah dapat membuktikan pemberantasan korupsi dengan cara menghukum pelaku korupsi dengan efektif tanpa memperhatikan status atau posisi seseorang.*)

Kendati ada “Buku Saku untuk Memahami Tindak Pidana Korupsi” hasil olahan KPK, Agustus 2006; “BUKU AJAR PENDIDIKAN DAN BUDAYA ANTIKORUPSI (PBAK)”, Kemenkes 2014; “Birokrasi Zero Korupsi”, Kemenag 2013; *)Pendidikan Anti-Korupsi untuk Perguruan Tinggi”, Ditjen Dikti, Kemendikbud, Desember 2011. Bagaikan “hukum menggonggong, korupsi jalan terus”.

 Kita simak “Etika dan Religiusitas Anti-Korupsi  Dari Konsep ke Praktek di Indonesia”,  Globethics.net Focus 27. Nina Mariani Noor (Editor), Geneva: Globethics.net, 2015.  Khusus pada cuplikan beberapa  alenia, yaitu :

Sejarah korupsi di negeri yang bernama Republik Indonesia ini ternyata tidak kunjung berhenti. Orde berganti orde, rezim berganti rezim, partai berkuasa yang satu diganti partai berkuasa yang lain, korupsi tetap menjadi masalah yang sukar diatasi.

Bahkan timbul kesan, bahwa usaha-usaha pemberantasan korupsi pada masa Orde Baru lebih merupakan aktivitas humas untuk menunjukkan citra bahwa bantuan dan pinjaman luar negeri untuk Indonesia tidaklah mubazir.

Dari rezim ke rezim, orde ke orde, senantiasa timbul kesan bahwa prakarsa pemerintah untuk menjalankan program pemberantasan korupsi adalah “setengah hati”. Manuver-manuver para koruptor dan calon koruptor pun selalu membayang-bayangi usaha pemberantasan korupsi. Tidak hanya birokrat yang ada di kekuasaan eksekutif ikut merancang maneuver-manuver itu, tetapi juga para anggota dewan tingkat pusat maupun daerah di ranah legislatif, maupun para penegak hukum di ranah yudikatif, banyak yang bermanuver untuk memperlemah pemberantasan korupsi.

Akhir tulisan, dari Pendidikan Anti-Korupsi untuk Perguruan Tinggi”, ada alenia yang menarik :

Direktur Gratifikasi KPK, Giri Supradiono ketika di wawancarai oleh Kompas online mengatakan bahwa salah satu upaya untuk mencegah terjadinya tindak pidana korupsi pegawai negeri sipil (PNS) adalah dengan pemberian remunerasi. Ia mengatakan, PNS berada di urutan kelima setelah kepolisian, peradilan, partai politik, dan parlemen dalam praktik tindak pidana korupsi. Oleh karena itu, dengan kegiatan ini diharapkan bisa memberantas dan mencegah adanya praktik tindak pidana korupsi.

Menurut Transparency International, terdapat pertalian erat antara korupsi dan kualitas serta kuantitas kejahatan. Rasionya, ketika korupsi meningkat, angka kejahatan yang terjadi juga meningkat. Sebaliknya, ketika korupsi berhasil dikurangi, maka kepercayaan masyarakat terhadap penegakan hukum (law enforcement) juga meningkat. Jadi bisa dika­takan, mengurangi korupsi dapat juga (secara tidak langsung) mengurangi kejahatan lain dalam masyarakat.

Banyak pejabat negara, wakil rakyat atau petinggi partai politik yang tertangkap karena korupsi namun tidak menunjukkan perasaan bersalah, malu ataupun jera di depan umum. Mereka bertindak seolah-olah selebritis dengan tetap melambaikan tangan atau tersenyum lebar seolah-olah tidak bersalah. Hal ini terjadi karena anggapan bahwa mereka akan bebas dari tuduhan atau akan dengan mudah bebas dengan memberikan upeti kepada penegak hukum yang mengadilinya. Sungguh tidak mempunyai nurani!

Selamat membaca dengan apa adanya. [HaèN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar