nilai tawar
koruptor, kriminal ringan vs makan berat
Cara sederhana mendeteksi seberapa ampuh hukum di suatu negara diterapkan, ditegakkan,
cukup simak proses hukum terhadap kasus korupsi. Lebih komplit lagi, apa saja
langkah antisipasi, upaya preventif atau pencegahtangkalan, pemberantasan sampai
kemungkinan gerakan nasional mitigasi bencana korupsi.
Atau bisa mencontoh negara Singapura dan Hongkong. Kedua pemerintah negara ini
selama kurun waktu kurang lebih 50 tahun telah dapat membuktikan pemberantasan
korupsi dengan cara menghukum pelaku korupsi dengan efektif tanpa memperhatikan
status atau posisi seseorang.*)
Kendati ada “Buku Saku untuk Memahami Tindak Pidana Korupsi” hasil olahan
KPK, Agustus 2006; “BUKU AJAR PENDIDIKAN DAN BUDAYA ANTIKORUPSI (PBAK)”, Kemenkes 2014; “Birokrasi Zero Korupsi”, Kemenag 2013; *)“Pendidikan
Anti-Korupsi untuk Perguruan Tinggi”, Ditjen Dikti, Kemendikbud, Desember 2011. Bagaikan “hukum
menggonggong, korupsi jalan terus”.
Kita simak “Etika dan Religiusitas
Anti-Korupsi Dari Konsep ke Praktek di Indonesia”, Globethics.net Focus 27. Nina Mariani Noor (Editor), Geneva: Globethics.net, 2015. Khusus pada cuplikan beberapa alenia, yaitu :
Sejarah korupsi di negeri yang bernama Republik Indonesia ini ternyata
tidak kunjung berhenti. Orde berganti orde, rezim berganti rezim, partai
berkuasa yang satu diganti partai berkuasa yang lain, korupsi tetap menjadi
masalah yang sukar diatasi.
Bahkan
timbul kesan, bahwa usaha-usaha pemberantasan korupsi pada masa Orde Baru lebih
merupakan aktivitas humas untuk menunjukkan citra bahwa bantuan dan pinjaman
luar negeri untuk Indonesia tidaklah mubazir.
Dari rezim
ke rezim, orde ke orde, senantiasa timbul kesan bahwa prakarsa pemerintah untuk
menjalankan program pemberantasan korupsi adalah “setengah hati”.
Manuver-manuver para koruptor dan calon koruptor pun selalu membayang-bayangi
usaha pemberantasan korupsi. Tidak hanya birokrat yang ada di kekuasaan
eksekutif ikut merancang maneuver-manuver itu, tetapi juga para anggota dewan
tingkat pusat maupun daerah di ranah legislatif, maupun para penegak hukum di
ranah yudikatif, banyak yang bermanuver untuk memperlemah pemberantasan
korupsi.
Akhir
tulisan, dari “Pendidikan
Anti-Korupsi untuk Perguruan Tinggi”, ada alenia yang menarik :
Direktur
Gratifikasi KPK, Giri Supradiono ketika di wawancarai oleh Kompas online mengatakan
bahwa salah satu upaya untuk mencegah terjadinya tindak pidana korupsi pegawai
negeri sipil (PNS) adalah dengan pemberian remunerasi. Ia mengatakan, PNS
berada di urutan kelima setelah kepolisian, peradilan, partai politik, dan
parlemen dalam praktik tindak pidana korupsi. Oleh karena itu, dengan kegiatan
ini diharapkan bisa memberantas dan mencegah adanya praktik tindak pidana
korupsi.
Menurut Transparency International, terdapat pertalian erat antara
korupsi dan kualitas serta kuantitas kejahatan. Rasionya, ketika korupsi
meningkat, angka kejahatan yang terjadi juga meningkat. Sebaliknya, ketika
korupsi berhasil dikurangi, maka kepercayaan masyarakat terhadap penegakan
hukum (law enforcement) juga meningkat. Jadi bisa dikatakan, mengurangi
korupsi dapat juga (secara tidak langsung) mengurangi kejahatan lain dalam
masyarakat.
Banyak pejabat negara, wakil rakyat atau petinggi partai politik yang
tertangkap karena korupsi namun tidak menunjukkan perasaan bersalah, malu
ataupun jera di depan umum. Mereka bertindak seolah-olah selebritis dengan
tetap melambaikan tangan atau tersenyum lebar seolah-olah tidak bersalah. Hal ini
terjadi karena anggapan bahwa mereka akan bebas dari tuduhan atau akan dengan
mudah bebas dengan memberikan upeti kepada penegak hukum yang mengadilinya.
Sungguh tidak mempunyai nurani!
Selamat membaca dengan apa adanya. [HaèN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar