Koruptor,
Minoritas Yang Menjadi Penindas
Mungkin, secara kuantitas populasi koruptor yang pernah ada di Indonesia tak
ada apa-apanya jika dibanding total populasi penduduk. Tapi kalau
mempertimbangkan akumulasi jumlah “kekayaan” mereka sama dengan berapa ratus
juta penghasilan masyarakat berpenghasilan rendah dan selama berapa puluh
tahun.
Hati semakin miris jika melihat pola ucap, tingkah laku terpidana korupsi
yang berlagak pilon, bloon. Padahal, secara tak langsung mau pamer kalau
dirinya kebal hukum. Minimal bisa “menghargai” eksistensi hukum yang berlaku. “Wibawa
Rp” sangat menentukan vonis pengadilan.
Hak istimewa, hak luar biasa yang disandang koruptor menyebabkannya bisa
melakukan apa saja. Bahkan tak perlu turun tangan sendiri. Sudah ada pihak “relawan”
yang pasang badan. Intimidasi kepada anggota KPK, sebagai hal ringan. Teror fisik
pun sebagai hal wajar, lumrah sesuai pasal “mempertahankan diri” dari perbuatan
tidak menyenangkan yang dilakukan KPK. Kriminalisasi pimpinan KPK sebagai bukti
“di atas hukum masih ada hukum”.
Mulai sejak jadi obyek penyidikan KPK sampai sudah menghuni penjara, para
koruptor selalu menunjukkan tajinya, nyalinya. Tak heran di Indonesia sebagai
negara yang sedang dan akan berkembang, ditambah sebagai negara multipartai,
aparat penegak hukum begitu peduli pada kasus korupsi. Bentuk kepedulian yang
nyata adalah episode “Buaya vs Cicak”. Perlawanan konstitusional oleh kawanan
wakil rakyat di DPR dengan niat merevisi KPK. Artinya ingin memperjelas tugas,
wewenang dan kewajiban KPK.
Efek domino korupsi bisa lintas generasi. Bisa menentukan semua sendi dan
sistem kehidupan berbangsa, bernegara dan bermasyarakat. Tatanan hukum yang ada
harganya dan bisa ditawar. Sentimen negatif publik terhadap wibawa negara walau
dengan ramuan ajaib revolusi mental, tetap tak terobati.[HaèN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar