Halaman

Sabtu, 15 April 2017

Koruptor, Minoritas Yang Menjadi Penindas



Koruptor, Minoritas Yang Menjadi Penindas

Mungkin, secara kuantitas populasi koruptor yang pernah ada di Indonesia tak ada apa-apanya jika dibanding total populasi penduduk. Tapi kalau mempertimbangkan akumulasi jumlah “kekayaan” mereka sama dengan berapa ratus juta penghasilan masyarakat berpenghasilan rendah dan selama berapa puluh tahun.

Hati semakin miris jika melihat pola ucap, tingkah laku terpidana korupsi yang berlagak pilon, bloon. Padahal, secara tak langsung mau pamer kalau dirinya kebal hukum. Minimal bisa “menghargai” eksistensi hukum yang berlaku. “Wibawa Rp” sangat menentukan vonis pengadilan.

Hak istimewa, hak luar biasa yang disandang koruptor menyebabkannya bisa melakukan apa saja. Bahkan tak perlu turun tangan sendiri. Sudah ada pihak “relawan” yang pasang badan. Intimidasi kepada anggota KPK, sebagai hal ringan. Teror fisik pun sebagai hal wajar, lumrah sesuai pasal “mempertahankan diri” dari perbuatan tidak menyenangkan yang dilakukan KPK. Kriminalisasi pimpinan KPK sebagai bukti di atas hukum masih ada hukum.

Mulai sejak jadi obyek penyidikan KPK sampai sudah menghuni penjara, para koruptor selalu menunjukkan tajinya, nyalinya. Tak heran di Indonesia sebagai negara yang sedang dan akan berkembang, ditambah sebagai negara multipartai, aparat penegak hukum begitu peduli pada kasus korupsi. Bentuk kepedulian yang nyata adalah episode “Buaya vs Cicak”. Perlawanan konstitusional oleh kawanan wakil rakyat di DPR dengan niat merevisi KPK. Artinya ingin memperjelas tugas, wewenang dan kewajiban KPK.

Efek domino korupsi bisa lintas generasi. Bisa menentukan semua sendi dan sistem kehidupan berbangsa, bernegara dan bermasyarakat. Tatanan hukum yang ada harganya dan bisa ditawar. Sentimen negatif publik terhadap wibawa negara walau dengan ramuan ajaib revolusi mental, tetap tak terobati.[HaèN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar