Halaman

Selasa, 04 April 2017

matematika polisi dunia : teror+makar+ . . . = proyek perang



matematika polisi dunia : teror+makar+ . . . = proyek perang

Betul dan benar adanya ujar para pendiri bangsa bahwa revolusi tak akan selesai, tak pernah istirahat walau sarat dengan beban dunia. Karena révolusi méntal mengutamakan urusan dunia maka tak heran muncul orasi berbasis sentimen negatif sesuai kadar, nalar, asumsi politisnya :

Disisi lain, para pemimpin yang menganut ideologi tertutup pun memosisikan dirinya sebagai pembawa “self fulfilling prophecy”, para peramal masa depan. Mereka dengan fasih meramalkan yang akan pasti terjadi di masa yang akan datang, termasuk dalam kehidupan setelah dunia fana, yang notabene mereka sendiri belum pernah melihatnya.

Industri alat perang dan senjata pemusnah massal produk negara super maju, khususnay negara adidaya, jika tak ada pihak yang menggunakan malah mubazir. Kendati uji coba, latihan perang atau bisa didaur ulang sudah dilakukan. Namun biaya penelitian, produksi belum impas. Analog dengan dunia otomotif, semakin banyak anak manusia yang menjadi korba iklan, tampilan mobil/motor semakin aktraktif dengan teknologi semakin canggih.

Intinya, negara adidaya butuh ada lokasi palagan. Tentunya bukan di negeri sendiri. Ujung-ujungnya malah menambah hutang negara kepada negara zionis, itu lain pasal. Ganti presiden, kebijakan luar negeri hanya ganti format, rubah bungkus, pakai kemasan yang sedang marak.

Jika Belanda pernah praktik politik adu domba di Nusantara, maka langkah nyata negara adidaya lebih nyata, terukur dan bisa ditebak oleh anak-anak.

Semakin polisi dunia menyangkal malah semakin membuktikan operasi terselubung.

Sekarang ada alat resmi, formal, sah, bahkan konstitusional atau dilindungi undang-undang  untuk mempraktikkan “nabok nyilih tangan”. Jangan lupa kawan, ini jadi hak pilik penguasa maupun pengusaha. Tenar dengan sebutan beking, deking di era Orde Baru.

Terinspirasi oleh kampanye presiden AS, yang mendaur ulang jargon, semboyan presiden sebelumnya, maka di era rezim 2014-2019 muncul manusia Indonesia berorasi, berkoar, jual suara dengan wajah menghiba-hiba dan roman pengharu-rasa sekaligus pendusta agama. Intinya, karena kehabisan akal, akhirnya dengan bebas menyadur pendapat orang lain. Semacam plagiator.
 
Memang politik balas jasa, balas budi menjadikan pihak tertunjuk bisa lupa diri. Tetapi karena yang ada hanya mabuk udara, mabuk darat, mabuk laut maka muncul polisi mabuk. Semua pasal dan jurus dipaksa, jika tidak pas, mau tak mau, dipas-paskan agar tampak sibuk di mata sang juragan dan bandar politik. Sekaligus memuaskan hatinya. [HaèN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar