matematika polisi dunia
: teror+makar+ . . . = proyek perang
Betul dan benar adanya ujar para pendiri bangsa bahwa revolusi tak akan
selesai, tak pernah istirahat walau sarat dengan beban dunia. Karena révolusi méntal
mengutamakan urusan dunia maka tak heran muncul orasi berbasis sentimen negatif
sesuai kadar, nalar, asumsi politisnya :
Disisi lain, para pemimpin yang
menganut ideologi tertutup pun memosisikan dirinya sebagai pembawa “self
fulfilling prophecy”, para peramal masa depan. Mereka dengan fasih meramalkan yang akan pasti terjadi di masa yang
akan datang, termasuk dalam kehidupan setelah dunia fana, yang notabene mereka
sendiri belum pernah melihatnya.
Industri alat perang dan senjata pemusnah massal produk negara super maju,
khususnay negara adidaya, jika tak ada pihak yang menggunakan malah mubazir. Kendati
uji coba, latihan perang atau bisa didaur ulang sudah dilakukan. Namun biaya
penelitian, produksi belum impas. Analog dengan dunia otomotif, semakin banyak
anak manusia yang menjadi korba iklan, tampilan mobil/motor semakin aktraktif
dengan teknologi semakin canggih.
Intinya, negara adidaya butuh ada lokasi palagan. Tentunya bukan di negeri
sendiri. Ujung-ujungnya malah menambah hutang negara kepada negara zionis, itu
lain pasal. Ganti presiden, kebijakan luar negeri hanya ganti format, rubah
bungkus, pakai kemasan yang sedang marak.
Jika Belanda pernah praktik politik adu domba di Nusantara, maka langkah
nyata negara adidaya lebih nyata, terukur dan bisa ditebak oleh anak-anak.
Semakin polisi dunia menyangkal malah semakin membuktikan operasi
terselubung.
Sekarang ada alat resmi, formal, sah, bahkan konstitusional atau dilindungi
undang-undang untuk mempraktikkan “nabok nyilih tangan”. Jangan lupa kawan, ini jadi
hak pilik penguasa maupun pengusaha. Tenar dengan sebutan beking, deking di era Orde Baru.
Terinspirasi oleh kampanye presiden AS, yang mendaur ulang jargon, semboyan
presiden sebelumnya, maka di era rezim 2014-2019 muncul manusia Indonesia
berorasi, berkoar, jual suara dengan wajah menghiba-hiba dan roman
pengharu-rasa sekaligus pendusta agama. Intinya, karena kehabisan akal,
akhirnya dengan bebas menyadur pendapat orang lain. Semacam plagiator.
Memang politik balas jasa, balas budi menjadikan pihak tertunjuk bisa lupa
diri. Tetapi karena yang ada hanya mabuk udara, mabuk darat, mabuk laut maka
muncul polisi mabuk. Semua pasal dan jurus dipaksa, jika tidak pas, mau tak
mau, dipas-paskan agar tampak sibuk di mata sang juragan dan bandar politik. Sekaligus
memuaskan hatinya. [HaèN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar