Halaman

Rabu, 26 April 2017

antri menuju kesenjangan dan diskriminasi ideologi



antri menuju kesenjangan dan diskriminasi ideologi

Proses peradaban berkemajuan kemauan dan kebijakan politik Nusantara menghasilkan perubahan kedua UUD NRI 1945, antara lain dengan menetapkan :

BAB XA
HAK ASASI MANUSIA

Pasal 28B
(1)        Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.

Hak yang melekat pada anak, sejak seorang lelaki mencari calon ibu bagi anaknya. Sampai anak menjadi anggota keluarga, rumah tangga, masyarakat dan menyandang status sebagai :
Warga Negara adalah penduduk negara atau bangsa Indonesia berdasarkan keturunan, tempat kelahiran, atau pewarganegaraan yang mempunyai hak dan kewajiban.
(pasal 1 ayat ayat 4 UU 40/2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis)

Jadi, hak anak dan kedaulatan anak cakupan dimensinya lebih luas dengan mempertimbangan status negara kita sebagai negara hukum. Hak anak dan kedaulatan anak bermakna bahwa anak jangan hanya  menjadi elemen dari pasar, khususnya pasar politik domestik.

Hak dan kedaulatan ideologi anak harus ditumbuhkembangka sejak dini dan dari diri sendiri. Jangan dicekoki, direciki adegan dagelan pilitik di media massa. Kriteria klasiknya adalah dari, oleh, untuk diri sendiri.  Pasar ideologi lokal, domestic mamput memenuhi kebutuhan kinsmen. Pengausaan  pasar ideologi secara mandiri, di atas kaki sendiri, tanpa harus diatur oleh bangsa lain atau luar negeri. Serta menampik uluran tangan asing yang berkedok, berdalih apapun.

Dengan harapan citra diri anak bangsa ini mampu menjawab permasalahan utama yang dihadapi bangsa ini, sehingga dapat meningkatkan jati diri bangsa Indonesia.

Pasca Proklamasi Kemerdekaan RI 17 Agustus 1945 sampai bergulirnya reformasi mulai dari puncaknya, 21 Mei 1998, kedaulatan politik dalam mengatur tata kelola kehidupan bernegara semakin mengarah kepada scenario dan konspirasi pasar internasional. Mentalitas anak bangsa yang wajib memiliki otonomi diri bangsa Indonesia, hingga kini juga masih belum ada gejala positif. Rasa sikap inferior, rendah diri di hadapan bangsa asing,  masih mendominasi manusia politik Nusanatara.

Jangan heran kalau masih terdengar jeritan, ratapan, ujar keluhan dari anak bangsa yang tuna ideologi. Tak sedikit kita jumpai eksploitasi anak bangsa yang terjebak “main dadu politik”. Modus yang tak layak bagi  mereka di usianya yang masih awal langkah. Usia/umur yang rentan wawasan bela negara, kebangsaan. Seyogyanya  masih menikmati kasih sayang keluarga, masa bermain dan menyaynyi lagu anak-anak, mengenyam pendidikan serta menentukan jati diri dan citra diri. [HaèN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar