Ku Bersegera Menuju Rumah-Mu
Jamaah masjid di
kawasan perumahan tempat tinggal kami, menandai kehadiran saya cukup dengan mendengar suara : “Aaminn”. Sholat jumat yang jamaahnya membludak, sampai halaman
masjid, suara ‘amin’ saya malah tambah lantang. Walau nada ‘amin’ mengikuti
gaya bacaan sholat imam. Bacaan surat Al-Faatihah-nya cepat, maka otomatis ‘amin’
yang kudengungkan juga cepat. Dan sebagainya. Jamaah tetap mengenali suara
saya. Bahkan katanya, seperti di tunggu.
Mereka heran,
sepertinya suara ‘amin’ acap terdengar dari shaf terdepan, mungkin dipantulkan
dinding masjid. Jujurnya jamaah, ujar mereka, saya spesialis jamaah sholat
subuh dan/atau sholat isya’. Ada yang menandai kehadiran saya karena busana. Setengah
bercanda, sisanya bergurau kalau saya ke masjid, subuhan, tinggal ganti celana
panjang. Kaos untuk tidur dipakai ke masjid.
Gaya busana saya
memang jauh dari kategori ahli masjid. Bersyukur, rambut, kumis, janggut yang
serba putih sebagai atribut ‘pak haji’. Orang tak dikenal menyapa saya dengan
panggilan : “pak haji”. Atau yang singkat, praktis menyebut : “Jiii ..”.
Pamor sukses saya
semakin dikenal, karena saya dikenal sebagai banyak bertanya, usai kuliah subuh
setiap sabtu/ahad. Jika jamaah tidak yang bertanya, otomatis pengurus masjid
menunjuk saya agar buka mulut, sumbang suara. Kritisnya jamaah, yang usianya
rata-rata Rasulullah saw, bahwa saya bisa bertanya sesuai tema. Kebanyakan bapak-bapak
bersandar di dinding, sambil menahan kantuk. Bisa mendengar utuh, sudah
besyukur.
Perjuangan bangun
jelang azan subuh, terlebih masuk bilangan sepertiga malam, walau punya rekam
jejak, tetap dirasa berat. Allah Maha Penyayang, satu jam jelang azan subuh, sudah “membangunkan” diriku. Saya segera bisa sadar,
bangun dan segar. Jika rasa malas muncul, atasi dengan logika awam, memenuhi
panggilan, seruan-Nya, saya tunda. Jangan-jangan kalau saya pas berdoa , maka
Allah tak akan bersegera menjawab. Ini bahasa manusia. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Pengasih
lagi Maha Penyayang kepada Manusia.
Pemulung, kesibukan dapur, satpam RT
yang masih jaga, pedagang pulang malam, nyaris rutin kulihat waktu jalan kaki
ke masjid. Jauh menit dari azan subuh. Selalu kuniatkan bisa hadir di rumah-Nya
sebelum “pintu dibuka”. Sedih hati jika parkir masjid masih sepi. Namun terobati
jika melihat beberapa pasang sandal sudah parkir di depan pintu masjid.
Hati dan jiwa semakin lapang, suara
marbot sedang lantunkan Al-Qur’an. Shaf pertama tampak kawula sepuh duduk tafakur.
Biasanya saya menempati shaf terdepan, sayap kanan.
Saya bukannya melazimi sholat subuh
dan/atau sholat isya’ di masjid, karena perhitungan pahala dari Allah, atau
karena tak terlihat di jalan.
Imam sholat isya’ acap mengingatkan
jamaah, khususnya anak-anak agar tertib, tidak ribut, berlarian saat sholat
ditegakkan. ‘Aamiin’-nya anak-anak seperti lomba. Masih kalah panjang dengan
nada saya. Begitu salam kedua, anak-anak berhamburan dan ribut. Bersegera memuju
masjid waktu isya’, banyak pengalaman yang pernah saya ceritakan di blogspot
ini.
Bersyukur, sholat subuh masih ada
jamaah anak-anak. Tidak berisik, karena datang terlambat. Begitu salam kedua,
tampak beberapa anak berdiri melengkapi rokaat yang ketinggalan. Sambil pakai
sarung, satu dua anak bergegas sholat sendiri-sendiri. [HaèN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar