Kita Bukan Bangsa Témpé. Kalau Kedelainya Impor,
Piyé mbokdé
Bung Karno secara historis dikenal sebagai Proklamator, tenar pula sebagai
orator ulung. Sampai sekarang, di era Reformasi, salah satu jargonnya dalam
kalimat : “Kita bangsa besar, kita bukan Bangsa tempe. Kita tidak akan mengemis, kita tidak
akan minta-minta apalagi jika bantuan-bantuan itu diembel-embeli dengan syarat
ini syarat itu! Lebih baik makan gaplek tetapi merdeka, dari pada makan bestik
tetapi budak." (Pidato Presiden Soekarno
pada HUT Proklamasi, 1963) dianggap masih layak, pantas dan laku serta wajib
menjadi renungan bersama. Menjadi sorot topik dalam berbangsa dan bernegara,
khususnya : bangsa tempe.
Cuplikan sejarah yang belum sempat disensor - atau bahkan dibredel - oleh
penguasa adalah ternyata proses membuat tempe, malah mewarnai mental anak
bangsa. Kedelai sebagai bahan baku tempe mengalami proses diinjak-injak dengan
kaki tentunya. Dicuci, dan seterusnya.
“Proses diinjak-injak” mengalami penyederhanaan atau pendalaman makna.
Tepatnya di era Refomasi ini, ketika Indonesia menjelma sebagai negara
multipartai. Membuahkan a.l multikrisis. Dari sekian krisis, yang bikin anak
bangsa bingung binti linglung adalah “krisis
kedaulatan”.
Anak bangsa, yang memang masih menyandang kasta bumi putera, pribumi,
akhirnya terjebak mental dan keyakinan ideologi bahwa berkat dukungan asing,
maka mereka dapat merebut dan mempertahankan kekuasaan secara konstitusional. Kondisi
ini bertolak belakang dengan ikhtiar para pendiri bangsa yang telah memberi
contoh berani berpikir sendiri sekaligus menanggalkan dan meninggalkan mental
merasa rendah diri. Merasa kalah pamor jika berhadapan dengan bangsa asing. Tapi
garang jika menghadapi kelompok kritis di dalam negeri.
Bagaimana mau mewujudkan kedaulatan bangsa, wibawa negara kalau kedaulatan
diri saja tidak diketahui keberadaannya.
Gaya hidup, gengsi dan gaul kawanan parpolis tergantung ideologi Rp, politik
transaksional, kekerabatan politik, politik balas jasa vs balas budi,
perusahaan politik keluarga. Tentunya masih banyak lagi bentuk dan aliran
parpol. Sejak era Reformasi, muncul faham tentang model kesetiakawanan antar
anak bangsa yang haus politik yaitu ‘pagi delé, sore tempé’. Tidak ada kawan, sekutu abadi, tidak ada lawan,
seteru sampai mati. Kepentingan politik melahirkan koalisi, yang seolah
menghadapi musuh bangsa dan negara.
Akhirnya, anak
bangsa secara kolektif dan kelogial telah terpasung oleh budaya yang secara
eksternal tergantung restu asing, secara internal siap saling libas. Acap tidak
menyadari masuk rasa kebangsaan semu, didominasi asas kepentingan bersama yang
hanya pemanis mulut. Nyaris tidak sempat memikirkan adanya kekuatan tertentu
dari pihak tertentu, tahu-tahu sudah mengendalikan diri kita pada hampir setiap
aspek kehidupan. Kita malah tidak merasa kalau sebagai pribadi maupun sebagai
bangsa, sudah tidak mampu mandiri atau
berdaulat.
Mental inlanders warisan masa kolonial,
masih cukup kuat mengakar di urat nadi anak bangsa. Memang, sejak era Orde Baru
yang antar Pelita (pembangunan lima tahun) mencari penopang dan dukungan asing.
Penghalusan bahasanya yaitu “menarik investasi asing”. Muncul budaya
rasa sungkan, tepo sliro, éwuh pakéwuh, sehingga menyuburkan sikap tidak kritis
atau peka terhadap intervensi asing (memang sengaja dipelihara).
Kedelai biji kering dipesan oleh importir dari
negara-negara eksportir produsen, utamanya AS. Sebagian besar kedelai impor
digunakan sebagai bahan baku pembuatan tahu, tempe, kecap, kue, dan lain-lain,
namun sebagian besar adalah untuk pembuatan tahu dan tempe. Kedelai impor
dijual oleh importir kepada KOPTI, dan dari KOPTI kepada perajin tahu/tempe. (RPJMN 2015-2019)
Sementara itu, karena ketergantungan pada kedelai impor maka
harga kedelai lokal sangat dipengaruhi perubahan harga internasional. Tak heran
jika semangat mengabdi, menghamba kepada bangsa asing, kepentingan asing bertimbal
balik dengan kemurahan hati negara asing. Terkhusus adalah negara paling
bersahabat.[HaèN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar