Halaman

Jumat, 07 April 2017

Kita Bukan Bangsa Témpé. Kalau Kedelainya Impor, Piyé mbokdé



Kita Bukan Bangsa Témpé. Kalau Kedelainya Impor, Piyé mbokdé

Bung Karno secara historis dikenal sebagai Proklamator, tenar pula sebagai orator ulung. Sampai sekarang, di era Reformasi, salah satu jargonnya dalam kalimat :  Kita bangsa besar, kita bukan Bangsa tempe. Kita tidak akan mengemis, kita tidak akan minta-minta apalagi jika bantuan-bantuan itu diembel-embeli dengan syarat ini syarat itu! Lebih baik makan gaplek tetapi merdeka, dari pada makan bestik tetapi budak." (Pidato Presiden Soekarno pada HUT Proklamasi, 1963) dianggap masih layak, pantas dan laku serta wajib menjadi renungan bersama. Menjadi sorot topik dalam berbangsa dan bernegara, khususnya : bangsa tempe.

Cuplikan sejarah yang belum sempat disensor - atau bahkan dibredel - oleh penguasa adalah ternyata proses membuat tempe, malah mewarnai mental anak bangsa. Kedelai sebagai bahan baku tempe mengalami proses diinjak-injak dengan kaki tentunya. Dicuci, dan seterusnya.

“Proses diinjak-injak” mengalami penyederhanaan atau pendalaman makna. Tepatnya di era Refomasi ini, ketika Indonesia menjelma sebagai negara multipartai. Membuahkan a.l multikrisis. Dari sekian krisis, yang bikin anak bangsa bingung binti linglung adalah “krisis kedaulatan”.

Anak bangsa, yang memang masih menyandang kasta bumi putera, pribumi, akhirnya terjebak mental dan keyakinan ideologi bahwa berkat dukungan asing, maka mereka dapat merebut dan mempertahankan kekuasaan secara konstitusional. Kondisi ini bertolak belakang dengan ikhtiar para pendiri bangsa yang telah memberi contoh berani berpikir sendiri sekaligus menanggalkan dan meninggalkan mental merasa rendah diri. Merasa kalah pamor jika berhadapan dengan bangsa asing. Tapi garang jika menghadapi kelompok kritis di dalam negeri.

Bagaimana mau mewujudkan kedaulatan bangsa, wibawa negara kalau kedaulatan diri saja tidak diketahui keberadaannya.

Gaya hidup, gengsi dan gaul kawanan parpolis tergantung ideologi Rp, politik transaksional, kekerabatan politik, politik balas jasa vs balas budi, perusahaan politik keluarga. Tentunya masih banyak lagi bentuk dan aliran parpol. Sejak era Reformasi, muncul faham tentang model kesetiakawanan antar anak bangsa yang haus politik yaitu ‘pagi delé, sore tempé’. Tidak ada kawan, sekutu abadi, tidak ada lawan, seteru sampai mati. Kepentingan politik melahirkan koalisi, yang seolah menghadapi musuh bangsa dan negara.

Akhirnya, anak bangsa secara kolektif dan kelogial telah terpasung oleh budaya yang secara eksternal tergantung restu asing, secara internal siap saling libas. Acap tidak menyadari masuk rasa kebangsaan semu, didominasi asas kepentingan bersama yang hanya pemanis mulut. Nyaris tidak sempat memikirkan adanya kekuatan tertentu dari pihak tertentu, tahu-tahu sudah mengendalikan diri kita pada hampir setiap aspek kehidupan. Kita malah tidak merasa kalau sebagai pribadi maupun sebagai bangsa,  sudah tidak mampu mandiri atau berdaulat.

Mental inlanders warisan masa kolonial, masih cukup kuat mengakar di urat nadi anak bangsa. Memang, sejak era Orde Baru yang antar Pelita (pembangunan lima tahun) mencari penopang dan dukungan asing.  Penghalusan bahasanya  yaitu “menarik investasi asing”. Muncul budaya rasa sungkan, tepo sliro,  éwuh pakéwuh, sehingga menyuburkan sikap tidak kritis atau peka terhadap intervensi asing (memang sengaja dipelihara).

Kedelai biji kering dipesan oleh importir dari negara-negara eksportir produsen, utamanya AS. Sebagian besar kedelai impor digunakan sebagai bahan baku pembuatan tahu, tempe, kecap, kue, dan lain-lain, namun sebagian besar adalah untuk pembuatan tahu dan tempe. Kedelai impor dijual oleh importir kepada KOPTI, dan dari KOPTI kepada perajin tahu/tempe. (RPJMN 2015-2019)

Sementara itu, karena ketergantungan pada kedelai impor maka harga kedelai lokal sangat dipengaruhi perubahan harga internasional. Tak heran jika semangat mengabdi, menghamba kepada bangsa asing, kepentingan asing bertimbal balik dengan kemurahan hati negara asing. Terkhusus adalah negara paling bersahabat.[HaèN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar