Halaman

Rabu, 26 April 2017

Jokowi dan biang kerok penista agama dipelihara oleh negara



Jokowi dan biang kerok penista agama dipelihara oleh negara

Duèt maut Jokowi-Ahok sebagai DKI-1 dan DKI-2 2012-2017 bukan pecah kongsi. Karir politik Jokowi dengan budaya “tinggal glanggang colong playu”. Mulai dari sebagai walikota Surakarta belum jatuh tempo sudah melihat jabatan gubernur lebih menggiurkan. Tabiat, adat lama terulang, belum jatuh tempo sebagai gubernur DKI Jakarta, tergiur oleh rayuan jabatan presiden.

Pasangan Jokowi yang masih tertinggal di landasan, mendapat kesempatan naik klas, dari wagub menjadi gubernur DKI Jakarta menghabiskan sisa periode. Nasib ini pernah dialami oleh wakil presiden kedelapan RI yang dalam satu periode 1999-2004 naik klas menjadi presiden kelima RI.

Agar gaungnya tetap bergema, sang wakil menggunakan jurus andalan atau tepatnya menggunakan watak aslinya. Intinya, mengganggap bumiputera, pribumi sebagai warga negara klas kambing, papan bawah. Hebatnya lagi, agama langit dengan enteng dinistakaan salah satu ayat dalam kitab suci Al-Qur’an. Serta merta pola pikir, pola buka mulut dan tindak raganya menjadikan politik Nusantara gelepotan, berlumuran dengan rasa permusuhan.

Akhirnya, proses peradaban berkemajuan kemauan politik Nusantara baru sampai tahap menghasilkan mégakorupsi KTP-elek diperparah dengan kasus penistaan agama. Dengan enteng sang kepala negara berujar sentimen negatif kalau kegiatan agama dipisahkan dari dunia politik.  Betapa bangganya mbokdé dan paklik, melihat situasi dan kondisi terkini tanah air. Siap menjala di air keruh gonjang-ganjing politik. [HaèN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar