Jokowi dan biang kerok penista
agama dipelihara oleh negara
Duèt maut Jokowi-Ahok sebagai DKI-1 dan DKI-2 2012-2017
bukan pecah kongsi. Karir politik Jokowi dengan budaya “tinggal glanggang colong playu”. Mulai dari
sebagai walikota Surakarta belum jatuh tempo sudah melihat jabatan gubernur
lebih menggiurkan. Tabiat, adat lama terulang, belum jatuh tempo sebagai
gubernur DKI Jakarta, tergiur oleh rayuan jabatan presiden.
Pasangan Jokowi yang masih tertinggal di landasan,
mendapat kesempatan naik klas, dari wagub menjadi gubernur DKI Jakarta
menghabiskan sisa periode. Nasib ini pernah dialami oleh wakil presiden
kedelapan RI yang dalam satu periode 1999-2004 naik klas menjadi presiden
kelima RI.
Agar gaungnya tetap bergema, sang wakil menggunakan jurus
andalan atau tepatnya menggunakan watak aslinya. Intinya, mengganggap
bumiputera, pribumi sebagai warga negara klas kambing, papan bawah. Hebatnya lagi,
agama langit dengan enteng dinistakaan salah satu ayat dalam kitab suci Al-Qur’an.
Serta merta pola pikir, pola buka mulut dan tindak raganya menjadikan politik
Nusantara gelepotan, berlumuran dengan rasa permusuhan.
Akhirnya, proses peradaban berkemajuan kemauan politik Nusantara baru
sampai tahap menghasilkan mégakorupsi
KTP-elek diperparah dengan kasus penistaan agama. Dengan enteng sang kepala
negara berujar sentimen negatif kalau kegiatan agama dipisahkan dari dunia politik.
Betapa bangganya mbokdé dan paklik, melihat
situasi dan kondisi terkini tanah air. Siap menjala di air keruh
gonjang-ganjing politik. [HaèN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar