karena Jokowi
sebagai sinyal pratanda Jokiwo
Apa arti sebuah nama. Sangat berarti, bermakna. Kalau bahasa menunjukkan
bangsa. Maka nama menunjukkan siapa yang punya nama. Nama adalah doa, hasil
dari kewajiban orangtua memberi nama anaknya dengan nama yang baik. Dengan panggilan
yang baik. Jangan asal nge-trend,
mboys, modern, gaul, tidak norak, ora
kampungan atau ungkapan jati diri yang mengedepankan, mengutamakan rasa
bangga saja, bangga doang. Begitu.
Tak terkecuali nama presiden ke-7 NKRI atau presiden NKRI ke-7, yang full name sebagai identitas wong Jawa
asli, tulen yaitu Joko Widodo. Karena nama tersebut memang banyak pemakainya,
nama kodian, kiloan. Salah satu ciri dengan berakhiran huruf hidup. Sesuai makna
huruf, aksara Jawa “hana caraka . . .”.
Matinya wong Jawa ketika di pangku.
Nama komersial Joko Widodo adalah Jokowi. Presiden keenam RI dikenal,
dikenang dengan subutan SBY. Atau dengan rasa hormat pakai sebutan Pak BéYé.
Bung Karnp malah lebih beken daripada Sukarno. Gus Dur, panggilan buat presiden
keempat RI.
Ternyata, menurut ahli ujar kekesalan yang menyelidik, menyidik gaya bahasa
Jokowi atas investasi dari Arab Saudi tidak sesuai angan-angan politiknya. Serta
merta mendongkrak pamor tukang ojek payung dan sopir pribadi.
Para sesepuh di telatah Surakarta, sejak awal kiprah politik Jokowi sudah
mencium aroma politiknya. Mereka hanya berbasis ada apa dibalik nama tetenger “jokowi”.
Sebagai simbol teguran, pengingat “jokiwo”. Artinya ojo ngiwo.
Langkah catur politik dan dadu politik Jokowi yang Jokiwo memang sarat
dengan serong ke kiri. Alias mengiwo,
mengiri. Kita wajib bersyukur bahwa Jokowi tidak punya sifat mengiri, yang
biasanya membuahkan dengki, hasad, dan sejenisnya.
Jangan bangga dulu kawan, sifat mengiri-nya Jokowi dengan cara berani
berkorban untuk mewujudkan angan-angan, ambisi dan fantasi politiknya. Tepatnya
dengan asas mégatéga siap mengorbankan generasi masa depan yang belum lahir.
Namanya politik, banyak menggunakan bahasa symbol. Sewaktu raja Salman
ingin berjumpa dengan anak Sukarno, sosok yang dikaguminya. Dimanfaatkan dengan
selfi oleh anak cucu Bung Karno yang
bukan kebetulan semuanya kaum hawa.
Kerajaan Arab Saudi pernah mempunyai sikap politik ketika Bung Karno “belok
ke kiri”, merapat ke (negara) komunis. Ditambah minat, niat raja Salman dan
rombongan besarnya untuk memperpanjang masa reses di pulau Bali. Mengendus,
melacak langsung kehidupan umat Islam yang minoritas di tengah gaya negara
multietnis, multireligi, multikultur. Kondisi ini tentu akan mempengaruhi sikap
politik pemerintah Arab Saudi ke NKRI. Tapi ingat, ojo kondo-kondo.
Kata yang pernah merasakan sejarah, memang sejarah akan berulang dalam
modus yang berbeda. Karena masa lalu dijadikan pelajaran.
Jadi pasca pilkada DKI Jakarta putaran kedua, Rabu 19 April 2017, bangsa
Indonesia semakin siaga menghadapi bencana politik dari dalam dan luar negeri. Cengekraman
Naga Merah bukan sekedar dongeng. [HaèN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar