Halaman

Jumat, 28 April 2017

karena Jokowi sebagai sinyal pratanda Jokiwo



karena Jokowi sebagai sinyal pratanda Jokiwo

Apa arti sebuah nama. Sangat berarti, bermakna. Kalau bahasa menunjukkan bangsa. Maka nama menunjukkan siapa yang punya nama. Nama adalah doa, hasil dari kewajiban orangtua memberi nama anaknya dengan nama yang baik. Dengan panggilan yang baik. Jangan asal nge-trend, mboys, modern, gaul, tidak norak, ora kampungan atau ungkapan jati diri yang mengedepankan, mengutamakan rasa bangga saja, bangga doang. Begitu.

Tak terkecuali nama presiden ke-7 NKRI atau presiden NKRI ke-7, yang full name sebagai identitas wong Jawa asli, tulen yaitu Joko Widodo. Karena nama tersebut memang banyak pemakainya, nama kodian, kiloan. Salah satu ciri dengan berakhiran huruf hidup. Sesuai makna huruf, aksara Jawa “hana caraka . . .”. Matinya wong Jawa ketika di pangku.

Nama komersial Joko Widodo adalah Jokowi. Presiden keenam RI dikenal, dikenang dengan subutan SBY. Atau dengan rasa hormat pakai sebutan Pak BéYé. Bung Karnp malah lebih beken daripada Sukarno. Gus Dur, panggilan buat presiden keempat RI.

Ternyata, menurut ahli ujar kekesalan yang menyelidik, menyidik gaya bahasa Jokowi atas investasi dari Arab Saudi tidak sesuai angan-angan politiknya. Serta merta mendongkrak pamor tukang ojek payung dan sopir pribadi.

Para sesepuh di telatah Surakarta, sejak awal kiprah politik Jokowi sudah mencium aroma politiknya. Mereka hanya berbasis ada apa dibalik nama tetenger “jokowi”. Sebagai simbol teguran, pengingat “jokiwo”. Artinya ojo ngiwo.

Langkah catur politik dan dadu politik Jokowi yang Jokiwo memang sarat dengan serong ke kiri. Alias mengiwo, mengiri. Kita wajib bersyukur bahwa Jokowi tidak punya sifat mengiri, yang biasanya membuahkan dengki, hasad, dan sejenisnya.

Jangan bangga dulu kawan, sifat mengiri-nya Jokowi dengan cara berani berkorban untuk mewujudkan angan-angan, ambisi dan fantasi politiknya. Tepatnya dengan asas mégatéga siap mengorbankan generasi masa depan yang belum lahir.

Namanya politik, banyak menggunakan bahasa symbol. Sewaktu raja Salman ingin berjumpa dengan anak Sukarno, sosok yang dikaguminya. Dimanfaatkan dengan selfi oleh anak cucu Bung Karno yang bukan kebetulan semuanya kaum hawa.

Kerajaan Arab Saudi pernah mempunyai sikap politik ketika Bung Karno “belok ke kiri”, merapat ke (negara) komunis. Ditambah minat, niat raja Salman dan rombongan besarnya untuk memperpanjang masa reses di pulau Bali. Mengendus, melacak langsung kehidupan umat Islam yang minoritas di tengah gaya negara multietnis, multireligi, multikultur. Kondisi ini tentu akan mempengaruhi sikap politik pemerintah Arab Saudi ke NKRI. Tapi ingat, ojo kondo-kondo.

Kata yang pernah merasakan sejarah, memang sejarah akan berulang dalam modus yang berbeda. Karena masa lalu dijadikan pelajaran.

Jadi pasca pilkada DKI Jakarta putaran kedua, Rabu 19 April 2017, bangsa Indonesia semakin siaga menghadapi bencana politik dari dalam dan luar negeri. Cengekraman Naga Merah bukan sekedar dongeng. [HaèN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar