Perlawanan
Koruptor Menjadi Tindak Konstitusional
Kendati
tugas, wewenang dan kewajiban KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi)
berdasarkan UU 32/2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi, namun sejarah membuktikan kalau pihak yang diberantas tidak
hanya yang bersifat orang perseorangan atau individu.
Bentuk korupsi pun mengalami
pengkayaan dan penganekaragaman, singkat kata sudah mulai masuk skala mégakorupsi. Pihak yang terindikasi korupsi meningkat menjadi sistem,
institusi, pihak swata, korporasi. Disinyalir, dimensi kejahatan korporasi
menjadi PR besar bagi KPK. Rentang jalur dan modus operandi korupsi pun semakin
sistematis, masif, dan konstitusional. Sejak awal sinerjitas perencanaan dan pengganggaran
APBN dan/atau APBD sudah diwarnai aroma “bagi-bagi Rp”.
Tidak salah kalau korupsi
sudah seperti menjadi amunisi, sumber enerji bagi penyelenggara negara dan
pelaksana pemerintahan.
Jangan lupa kawan, kalau
faktor penyebab korupsi yang meliputi aspek perilaku individu, aspek
organisasi, aspek masyarakat, aspek peraturan perundang-undangan masih terjadi.
Bisa terjadi setiap kasus korupsi dengan faktor penyebab baru. Tidak salah,
kalau “ilmu korupsi” lebih cepat dibanding ilmu berantas korupsi.
Upaya preventif, detektif,
represif untuk mencegah perilaku korupsi sejak dini terasa kurang manjur.
Langkah KPK dengan OTT malah menguak ada apa dengan dunia korupsi di Indonesia.
Episode “Buaya vs Cicak” yang jarang tayang atau
muncul di permukaan - karena ada kode etik jurnalistik - diyakini masih dan
akan tetap berlangsung. KPK sebagai aparat penegak hukum pun ternyata mendapat
“perlawanan konstitusional” dari rekan sejawat.
Korupsi sebagai kejahatan luar
biasa, menyebabkan pelakunya mendapat perlakuan hukum secara luar biasa pula.
Semakin besar kasus kerugian negara, semakin banyak pihak yang ikut bermain,
semakin kuat pula usaha untuk melakukan “perlawanan konstitusional” terhadap
KPK. [HaèN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar