Halaman

Selasa, 04 April 2017

standar makar dunia, nggorong-gorong vs nggangsir



standar makar dunia, nggorong-gorong vs nggangsir

Pengalaman eyang kakung saya sewaktu muda, ratusan tahun silam, tahu ada maling nyatroni rumahnya, ambil tombak. Daripada didahului, siap siaga awal. Langkah tindah proaktif, kalau perlu tembak di tempat karena jelas sudah ada niat jahat.

Waktu berjalan pelan tanpa suara sambil bawa tombak menuju tempat suara mencurigakan, dekat dinding samping rumah, tahu-tahu beliau malah kejeblos ke lubang.

Lubang tersebut dibuat sang maling, digali di samping luar dinding rumah untuk “pintu masuk”. Dikenal dengan istilah nggangsir. Diadop dari perlaku binatang gangsir membuat liang di tanah untuk markasnya.

Memang, akal maling sampai perampok mau masuk tempat korban atau obyek sasaran, terkadang lebih awal dan lebih lihai dibanding” ilmu polisi”. Polisi acap kalah satu langkah. Namun karena kejahatan, akhirnya kebenaran yang akan menang. Mirip tema film layar lebar atau sinetron bersambung aneka versi.

Polisi dunia pun juga acap kewalahan menghadapi modus operandi teroris. Makanya diciptakan gerakan “teror kontra teror”, antara lain dengan ISIS.

Karena tidak berhasil melakukan OTT seperti KPK, maka polisi dengan bantuan “ilmu penerawangan” mampu “membaca” modus operandi pihak yang patut dan layak dicurigai. Memaksakan pasal makar sebagai langkah konstitusional.

Kehabisan inspirasi, pakai cara konvensional. Kendati angkutan online (ono link-nya) atau daring lebih melangkah jauh dibandung angkutan konvensional. Aneh, persaingan usaha malah menyalahkan orang lain, mengkambinghitamkan sistem. Merapatkan barisan untuk main protes, sampai kemungkinan main polisi sendiri.

Cabang ilmu baru, atau temuan baru, sejatinya diperolah dan diperoleh dari hasil penggabungan beberapa ilmu atau pengalaman. Banyak temuan atau rekayasa fakta lapangan terjadi secara tak sengaja.

Diilhami film India dengan properti utama adalah pohon, untuk menapilkan adegan seni tari dan seni tarik suara. Akhirnya, pihak aparat keamanan negara menemukan formula anyar, yaitu makar lewat gorong-gorong. Padahal praktik yang ada, gorong-gorong di ibukota NKRI sebagai biang banjir. Jokowi sewaktu masih jadi DKI-1 pernah blusukan ke gorong-gorong. Saat itu gorong-gorong masih belum jadi TPS bungkus kabel.

Padahal model ISIS kan sudah ada di Nusantara. Sebagai tandingan atau permainan politik penguasa. Memang kalau Nusantara adem-ayem toto tentrem, maka tak aka nada proyek perang. [HaèN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar