standar makar dunia,
nggorong-gorong vs nggangsir
Pengalaman eyang kakung saya sewaktu muda, ratusan tahun silam, tahu ada
maling nyatroni rumahnya, ambil tombak. Daripada didahului, siap siaga awal.
Langkah tindah proaktif, kalau perlu tembak di tempat karena jelas sudah ada
niat jahat.
Waktu berjalan pelan tanpa suara sambil bawa tombak menuju tempat suara
mencurigakan, dekat dinding samping rumah, tahu-tahu beliau malah kejeblos ke
lubang.
Lubang tersebut dibuat sang maling, digali di samping luar dinding rumah
untuk “pintu masuk”. Dikenal dengan istilah nggangsir. Diadop dari perlaku binatang
gangsir membuat liang di tanah untuk markasnya.
Memang, akal maling sampai perampok mau masuk tempat korban atau obyek
sasaran, terkadang lebih awal dan lebih lihai dibanding” ilmu polisi”. Polisi
acap kalah satu langkah. Namun karena kejahatan, akhirnya kebenaran yang akan
menang. Mirip tema film layar lebar atau sinetron bersambung aneka versi.
Polisi dunia pun juga acap kewalahan menghadapi modus operandi teroris.
Makanya diciptakan gerakan “teror kontra teror”, antara lain dengan ISIS.
Karena tidak berhasil melakukan OTT seperti KPK, maka polisi dengan bantuan
“ilmu penerawangan” mampu “membaca” modus operandi pihak yang patut dan layak
dicurigai. Memaksakan pasal makar sebagai langkah konstitusional.
Kehabisan inspirasi, pakai cara konvensional. Kendati angkutan online (ono link-nya) atau daring lebih
melangkah jauh dibandung angkutan konvensional. Aneh, persaingan usaha malah
menyalahkan orang lain, mengkambinghitamkan sistem. Merapatkan barisan untuk
main protes, sampai kemungkinan main polisi sendiri.
Cabang ilmu baru, atau temuan baru, sejatinya diperolah dan diperoleh dari
hasil penggabungan beberapa ilmu atau pengalaman. Banyak temuan atau rekayasa
fakta lapangan terjadi secara tak sengaja.
Diilhami film India dengan properti utama adalah pohon, untuk menapilkan
adegan seni tari dan seni tarik suara. Akhirnya, pihak aparat keamanan negara
menemukan formula anyar, yaitu makar lewat gorong-gorong. Padahal praktik yang
ada, gorong-gorong di ibukota NKRI sebagai biang banjir. Jokowi sewaktu masih
jadi DKI-1 pernah blusukan ke gorong-gorong. Saat itu gorong-gorong masih belum
jadi TPS bungkus kabel.
Padahal model ISIS kan sudah ada di Nusantara. Sebagai tandingan atau
permainan politik penguasa. Memang kalau Nusantara adem-ayem toto tentrem, maka
tak aka nada proyek perang. [HaèN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar