Indonesia
Darurat Perlindungan Koruptor
KEMBALI KE UU 30/2002
Berkat perjuangan berjiwa besar dan
jasa presiden kelima RI bersama DPR RI maka kedua belah pihak menetapkan : UNDANG-UNDANG TENTANG KOMISI
PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI. UU dimaksud adalah UU 32/2002.
Kita simak Pasal 2 dan Pasal 3-nya
yang menuliskan :
Pasal 2
Dengan Undang-Undang ini
dibentuk Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang untuk selanjutnya
disebut Komisi Pemberantasan Korupsi.
Pasal 3
Komisi Pemberantasan Korupsi
adalah lembaga negara yang dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya bersifat
independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan manapun.
Praktiknya,
Pasal 2, khusus pada frase “Komisi Pemberantasan
Korupsi” lebih akrab dan dikenal
singkatannya yaitu KPK.
Penjelasan Pasal 3 :
Dalam ketentuan ini yang
dimaksud dengan “kekuasaan manapun” adalah kekuatan yang dapat mempengaruhi tugas dan
wewenang Komisi Pemberantasan Korupsi atau anggota Komisi secara individual
dari pihak eksekutif, yudikatif, legislatif, pihak-pihak lain yang terkait dengan
perkara tindak pidana korupsi, atau keadaan dan situasi ataupun dengan alasan apapun.
PRAKTIK KE UU 30/2002
UU merupakan produk hukum, namun tak
lepas dari hasil mufakat, kesepakatan manusia politik Nusantara yang sedang
menyelengarakan negara dan menjalankan roda pemerintahan.
Secara awam sudah rahasia umum kalau
pihak yang diberantas olek KPK adalah koruptor. Sejarah perjalanan bangsa dan
negara membuktikan kalau koruptor itu bukan penjahat murahan. Bahkan kalau
korupsi adalah suatu kejahatan luar biasa, tidak sekedar merugikan negara dalam
ukuran Rp saja. Jelas kalau pelakunya akan mendapat perlakuan yang tak kalah
luar biasa dari aparat penegak hukum.
Katanya, KPK yang termasuk aparat
penegak hukum tak pilih kasih dan pilah kisah dalm menegakkan hukum
anti-korupsi.
DI ATAS LANGIT MASIH ADA LANGIT
Memang selama dan sejauh ini KPK
bebas dari pengaruh “kekuasaan manapun”. Jangan
lalai, lengah dan lupa kawan, kalau lokasi geografis praktik dan operasional
KPK di wilayah hukum kedaulatan RI, tentu ada pihak yang merasa berdaulat
penuh, sebagai “pemilik” dan “penguasa”-nya. Ada pihak dengan status formal
maupun turun-temurun, adat istiadat dikenal sebagai yang “baureksa”.
Di Nusantara,
nyaris disetiap daerah atau wilayah administrasi mempunyai lokasi dengan kategori : “janma mara
janma mati”, maksudnya : wingit
banget, ora kena diambah. Jangan masuk ke lokasi tsb, mau sekedar numpang
lewat saja harus meminta izin khusus. Setiap lokasi sesuai ketentuan hukum
yaitu : “desa mawa cara negara mawa tata” : saben panggonan duwe tata cara déwé-déwé.
Ini baru soal lokasi atau lokus.
Belum lagi siapa pelaku atau pihak yang akan menjadi sasaranKPK. Masih ada
sosok yang sekaliber dhanyang atau dhemit sing baureksa. Sosok ini
selain kebal senjata apapun, juga dikenal “kebal hukum”.
PASAL KAYU
Jadi,
apapun yang sudah, sedang dan akan menimpa KPK secara institusi maupun
anggotanya, memang sudah suratan sejarah, sudah takdir sejarah peradaban
berkemajuan bangsa, negara dan rakyat Indonesia.
Artinya,
KPK tidak bisa sakénak wudelé déwé. Walau
secara de jure dan de facto operasionalisasi KPK
berdasarkan UU. Lihat dulu siapa terduga korupsi dan dari mana asalnya. Tidak sekedar
membentur dinding baja. Malah bisa mencelakakan diri sendiri. Koruptor koq
dilawan. [HaèN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar