Halaman

Rabu, 12 April 2017

Indonesia Darurat Perlindungan Koruptor



Indonesia Darurat Perlindungan Koruptor

KEMBALI KE UU 30/2002
Berkat perjuangan berjiwa besar dan jasa presiden kelima RI bersama DPR RI maka kedua belah pihak menetapkan : UNDANG-UNDANG TENTANG KOMISI PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI. UU dimaksud adalah UU 32/2002.

Kita simak Pasal 2 dan Pasal 3-nya yang menuliskan :

Pasal 2
Dengan Undang-Undang ini dibentuk Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang untuk selanjutnya disebut Komisi Pemberantasan Korupsi.

Pasal 3
Komisi Pemberantasan Korupsi adalah lembaga negara yang dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya bersifat independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan manapun.


Praktiknya, Pasal 2, khusus pada frase “Komisi Pemberantasan Korupsi” lebih akrab dan dikenal singkatannya yaitu KPK.

Penjelasan Pasal 3 :
Dalam ketentuan ini yang dimaksud dengan “kekuasaan manapun” adalah kekuatan yang dapat mempengaruhi tugas dan wewenang Komisi Pemberantasan Korupsi atau anggota Komisi secara individual dari pihak eksekutif, yudikatif, legislatif, pihak-pihak lain yang terkait dengan perkara tindak pidana korupsi, atau keadaan dan situasi ataupun dengan alasan apapun.

PRAKTIK KE UU 30/2002
UU merupakan produk hukum, namun tak lepas dari hasil mufakat, kesepakatan manusia politik Nusantara yang sedang menyelengarakan negara dan menjalankan roda pemerintahan.

Secara awam sudah rahasia umum kalau pihak yang diberantas olek KPK adalah koruptor. Sejarah perjalanan bangsa dan negara membuktikan kalau koruptor itu bukan penjahat murahan. Bahkan kalau korupsi adalah suatu kejahatan luar biasa, tidak sekedar merugikan negara dalam ukuran Rp saja. Jelas kalau pelakunya akan mendapat perlakuan yang tak kalah luar biasa dari aparat penegak hukum.

Katanya, KPK yang termasuk aparat penegak hukum tak pilih kasih dan pilah kisah dalm menegakkan hukum anti-korupsi.

DI ATAS LANGIT MASIH ADA LANGIT
Memang selama dan sejauh ini KPK bebas dari pengaruh kekuasaan manapun”. Jangan lalai, lengah dan lupa kawan, kalau lokasi geografis praktik dan operasional KPK di wilayah hukum kedaulatan RI, tentu ada pihak yang merasa berdaulat penuh, sebagai “pemilik” dan “penguasa”-nya. Ada pihak dengan status formal maupun turun-temurun, adat istiadat dikenal sebagai yang “baureksa.

Di Nusantara, nyaris disetiap daerah atau wilayah administrasi mempunyai  lokasi dengan kategori : “janma mara janma mati”, maksudnya : wingit banget, ora kena diambah. Jangan masuk ke lokasi tsb, mau sekedar numpang lewat saja harus meminta izin khusus. Setiap lokasi sesuai ketentuan hukum yaitu : “desa mawa cara negara mawa tata” : saben panggonan duwe tata cara déwé-déwé.

Ini baru soal lokasi atau lokus. Belum lagi siapa pelaku atau pihak yang akan menjadi sasaranKPK. Masih ada sosok yang sekaliber dhanyang atau dhemit sing baureksa. Sosok ini selain kebal senjata apapun, juga dikenal “kebal hukum”.

PASAL KAYU
Jadi, apapun yang sudah, sedang dan akan menimpa KPK secara institusi maupun anggotanya, memang sudah suratan sejarah, sudah takdir sejarah peradaban berkemajuan bangsa, negara dan rakyat Indonesia.

Artinya, KPK tidak bisa sakénak wudelé déwé. Walau secara de jure dan de facto operasionalisasi KPK berdasarkan UU. Lihat dulu siapa terduga korupsi dan dari mana asalnya. Tidak sekedar membentur dinding baja. Malah bisa mencelakakan diri sendiri. Koruptor koq dilawan. [HaèN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar