KPK Tidak
Kebal Goyangan Politik
Keberadaan KPK
(Komisi Pemberantasan Korupsi) diawali dari UU 31/1999 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi, yang kemudian dikenal dan dikenang dengan UU Tipikor. Muatan
baru yang diatur dalam UU 31/1999 adalah korporasi sebagai subyek tindak pidana
korupsi yang dapat dikenakan sanksi. Hal ini tidak diatur dalam UU 3/1971.
Pasal 43 ayat (1) UU 31/1999
mengatur :
Pasal 43
(1)
Dalam
waktu paling lambat 2 (dua) tahun sejak Undang-undang ini mulai berlaku, dibentuk
Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Akhirnya,
ditetapkanlah UU 30/2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi, yang kemudian terkenal dengan sebutan UU KPK.
Efek domino Indoinesia adalah
negara multipartai menyebabkan peran partai politik begitu dominan, lewat
penyelenggara negara dan pemerintahan. Selama satu periode Indonesia terjebak
oleh adu kuat antar pelaku, pemain, pegiat, penggila, petugas partai. Apapun sistem
pemerintahannya, kalau kepala negara tidak ramah terhadap kawanan wakil rakyat
di DPR, urusan negara bisa kapiran.
Belum terhitung dominasi
parpol atau koalisi parpol pengusung dan pendukung pasangan Jokowi plus JK di
pilpres 2014. Tak heran kalau Jokowi dipandang sebelah mata oleh PDI-P dan
mendapat stigma pekerja partai. Bertambah parah karena investor politik
mancanegara sudah menanamkan saham.
Pihak DPR amat getol mau
merevisi UU KPK, tentu ada maunya. Tidak bak ada udang di balik batu, atau
sembunyi tangan. Malah terang-terangan sebagai langkah antisipasasi, preventif,
proaktif jika ada tindakan KPK
yang dirasa mengancam dan merugikan sebuah parpol, khususnya parpol penguasa. Padahal
yang dibutuhkan adalah revisi UU Tipikor, agar hukuman (yaitu hukuman
finanasil, baik menurut pekerjaan maupun menurut skala korupsi) yang diberikan kepada para
terpidana korupsi menjadi proporsional dengan biaya sosial korupsi yang
ditimbulkannya.
Hukum politik dan bahasa politik begitu digdaya, ampuh, manjur, mujarab,
cespleng selama periode 2014-2019 untuk mencegah tangkal maupun mengobati semua
masalah dan penyakit dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Politisasi hukum selalu menjadi andalan utama, senjata usang untuk mengkriminalisasi KPK.
Pimpinan dan anggota KPK bak hidup di ujung tanduk. Bahkan KPK sebagai lembaga
negara yang saat melaksanakan tugas, wewenang dan kewajibannya dalam pencegahan
dan pemberantasan tindak pidana korupsi bersifat independen dan bebas dari
kekuasaan manapun, namun karena Indonesia sebagai negara hukum, yang mana hukum
tersebut tergantung selera penguasa atau parpol yang sedang berkuasa, otomatis
hukum politik dan bahasa politik menjadi acuan utama. [HaèN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar