Halaman

Jumat, 14 April 2017

KPK Tidak Kebal Goyangan Politik



KPK Tidak Kebal Goyangan Politik

Keberadaan KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) diawali dari UU 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang kemudian dikenal dan dikenang dengan UU Tipikor. Muatan baru yang diatur dalam UU 31/1999 adalah korporasi sebagai subyek tindak pidana korupsi yang dapat dikenakan sanksi. Hal ini tidak diatur dalam UU 3/1971.

Pasal 43 ayat (1) UU 31/1999 mengatur :
Pasal 43
(1)    Dalam waktu paling lambat 2 (dua) tahun sejak Undang-undang ini mulai berlaku, dibentuk Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Akhirnya, ditetapkanlah UU 30/2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang kemudian terkenal dengan sebutan UU KPK.

Efek domino Indoinesia adalah negara multipartai menyebabkan peran partai politik begitu dominan, lewat penyelenggara negara dan pemerintahan. Selama satu periode Indonesia terjebak oleh adu kuat antar pelaku, pemain, pegiat, penggila, petugas partai. Apapun sistem pemerintahannya, kalau kepala negara tidak ramah terhadap kawanan wakil rakyat di DPR, urusan negara bisa kapiran.

Belum terhitung dominasi parpol atau koalisi parpol pengusung dan pendukung pasangan Jokowi plus JK di pilpres 2014. Tak heran kalau Jokowi dipandang sebelah mata oleh PDI-P dan mendapat stigma pekerja partai. Bertambah parah karena investor politik mancanegara sudah menanamkan saham.

Pihak DPR amat getol mau merevisi UU KPK, tentu ada maunya. Tidak bak ada udang di balik batu, atau sembunyi tangan. Malah terang-terangan sebagai langkah antisipasasi, preventif, proaktif jika ada tindakan KPK yang dirasa mengancam dan merugikan sebuah parpol, khususnya parpol penguasa. Padahal yang dibutuhkan adalah revisi UU Tipikor, agar hukuman (yaitu hukuman finanasil, baik menurut pekerjaan maupun  menurut skala korupsi) yang diberikan kepada para terpidana korupsi menjadi proporsional dengan biaya sosial korupsi yang ditimbulkannya.

Hukum politik dan bahasa politik begitu digdaya, ampuh, manjur, mujarab, cespleng selama periode 2014-2019 untuk mencegah tangkal maupun mengobati semua masalah dan penyakit dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Politisasi hukum selalu menjadi andalan utama, senjata usang untuk mengkriminalisasi KPK. Pimpinan dan anggota KPK bak hidup di ujung tanduk. Bahkan KPK sebagai  lembaga negara yang saat melaksanakan  tugas,  wewenang dan kewajibannya dalam pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi bersifat independen dan bebas dari kekuasaan manapun, namun karena Indonesia sebagai negara hukum, yang mana hukum tersebut tergantung selera penguasa atau parpol yang sedang berkuasa, otomatis hukum politik dan bahasa politik menjadi acuan utama.  [HaèN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar