arep makar, ngising sik
mbokdé
Tidak ada angin, tidak mendung, atau tanda-tanda alam lainnya, tiba-tiba bress, hujan seadanya. Matahari masih
bersinar dari arah samping. Orang kebingungan mencari tempat berteduh. Sudah mapan
di perlindungan, atau premotor dengan cekatan kenakan jas hujan, tak diduga
siapapun hujan reda.
Kicau burung menyambut hujan reda, bagaikan lagu alam yang sulit ditiru. Anak
ayam yang sembunyi di bawah badan dan sayap induknya, langsung keluar berolah
raga mengeringkan bulu-bulunya. Sibuk kais tanah sana-sini. Tidak peduli tanah
bukan miliknya. Namanya ayam.
Udara terasa segar di nafas. Aktivitas dunia kembali normal, seolah tak
pernah terjadi apa-apa. Tanah yang semula kering, jalan berdebu, menjadi segar.
Ternyata, sejurus hujan tadi tidak membuat kelompok manusia yang sedang
berpikir, menjadi segar ingatannya. Maklum mereka kerja di ruang ber-AC. Tidak tahu
keadaan nyata di luar gedung. Tapi mereka bukan bak “katak di bawah tempurung”.
Kecanggihan teknologi bahkan mereka bisa melihat mana saja, dengan duduk manis
di tempat.
Tukang B3 (beli barang bekas) bergegas meramaikan jalan yang memang tak
pernah tidur. Bergerak menuju pangkalan, setor hasil. Saat hujan tadi, ada yang
tidur di gerobaknya. Lelap, sampai tak tahu zaman sudah berubah. Sudah terjadi
pergantian pimpinan.
Kali ini yang pegang kendali merangkap sebagai perpanjangan tangan pemegang
kendali utama. Namanya kontark politik yang disub-subkan. Beda jauh dengan
proyek nasional KTP elektronik. Kendati masuk kategori mégakorupsi, bukan berarti ada dukungan signifikan dari
pemeintah untuk mentuntaskan sampai ke akar-akarnya.
Mégakasus KTP elektronik memang
sebagai dosa warisan dari periode sebelumnya. Bahkan alat hitung hasil pemilu,
kabar anginnya memang masih angin-anginan. Kita tunggu tanggal mainnya dan
ksiah berikutnya, di tempat yang sama dengan waktu berbeda. [HaèN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar