faktor “K”
dan nama besar BK
Pancasila sebagai dasar negara, ideologi negara
yang rumusannya digali dari kehidupan rakyat cikal bakal Nusantara, terasa tak
mampu lagi menjawab kebutuhan dan keinginan penduduk dan warga negara NKRI serta
mengantisipasi tantangan zaman.
Perjalanan ideologis Pancasila lewat pemerintahan,
tepatnya diterjemahkan tiap silanya sebagai landasan ideologi pendirian sebuah
partai politik (parpol). Nasakom-nya Bung Karno (BK) sebagai proklamator,
presiden pertama NKRI, malah menjadi senjata makan tuan. September 1948 Madiun
Affair dan G30S 1965, bukti dua kali PKI makar, kudeta dan menjadi musuh di
depan mata. Lanjut penyederhanaan jumlah parpol oleh penguasa tunggal Orde
Baru. Memang ideologi tak ada matinya.
Indonesia sebagai negara multipartai, pertambahan
parpol sesuai deret hitung namun ambisi politik meningkat mengikuti deret ukur.
Kondisi ini menjadi pemacu dan pemicu Pancasila cepat usang, uzur dan
sakit-sakitan. Buktinya, Pancasila naik strata, kasta dan status. Menjadi salah
satu pilar dari 4 Pilar Berbangsa dan Bernegara.
Pancasila seolah tidak mampu lagi menyatukan seluruh
potensi bangsa dan negara dalam mencapai tujuannya. Memang Pancasila masih
sebagai perekat bangsa dan negara. Cuma katanya, karena landasan ideologi parpol
yang semua mempunyai tujuan yang sama yaitu meraih berhala reformasi 3K (kaya,
kuat, kuasa), maka tak ayal lagi potensi parpol sebagai peretak bangsa.
Diperparah lagi jika ada sebuah parpol, yang “buku suci”-nya
disusun oleh segelintir elit parpol atau malah hanya merevisi pendahulunya. Agar
tampak berwibawa di mata pengikutnya, maka jabatan ketua umum diperkokoh dengan
Hak Prerogatif. Pimpinan parpol bukan secara kolektif dan kolegial. Tetapi mengerucut
di bawah satu tangan, satu komando.
Jadi, karena faktor “U” yaitu umur, usia yang berkorelasi
dengan predikat kemanusiaan uzur, using, uring-uringan. Di syahwat, industri,
panggung politik tak berlaku semboyan “tua-tua kelapa”, yang terjadi dan laku
keras adalah “tua-tua keladi, semakin tua semakin menjadi-jadi”.
Apa itu dan apa saja yang disebut faktor “K”. 3K sebagai
berhala reformasi, apa bisa jadi tamsilnya? Sabar. Pembaca tentu lebih paham
dari penulis, apa saja yang masuk bursa faktor “K”.
Singkat kata, akhir kata, bangsa Indonesia sangat
menghargai jasa para pahlawannya, menjunjung tinggi jasa kakek-nenek moyangnya.
Banyak terjadi karena nama besar kakek-nenek moyangnya, maka nama tersebut
didaulat sebagai nama marga. Dibariskan di belakang nama anak keturunannya. Apakah
itu tersemat, tertera sejak lahir di akta kelahiran, atau otomatis dipajang.
Sebutan anak biologis, anak yuridis, boleh-boleh saja. Kalau
mendaulat dan mengangungkan dirinya sebagai anak ideologis tanpa dukungan
potensi diri, harga diri, jati diri hanya akan digeguyu pitik mbokdé. Sejauh ini masih dianggap eksistensi,
keberadaannya, kehadirannya karena sejatinya bangsa dan rakyat NKRI hanya
memakai rasa Kasihan, sebagai faktor “K”. Bahkan
ini “K” yang paling dominan. Mau apa lagi kawan. [HaèN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar