mencari sosok bapak/ibu
koruptor Nusantara
Andai saja, andaikan, jikalau, jika kalau seandainya kemungkinan terjadi
vonis hakim terhadap terdakwa tindak pidana korupsi (tipikor), ternyata
nyatanya memang ringan. Yang tidak sekedar menciderai hukum itu sendiri, jangan
serta merta lantas disalahkan.
Hakim, pengadilan atau sistem hukum Indonesia ingin
berkata kepada masyarakat umum kalau terdakwa bukan pelaku utama, bukan pemain
tunggal. Fakta membuktikan, ini yang bukan konsumsi publik, bahwa modus
operandi korupsi ala Indonesia sudah melebihi prestasi korupsi negara lain. Minimal
dalam skala ASEAN.
Jadi, nasib dan perjalanan hukum pelaku tipikor analog
dengan pengedar narkoba, teroris yang bisa ditangkap hidup-hidup. Aparat penegak
hukum pasti sudah mempertimbangkan aneka aspek faktor pertimbangkan, yang
artinya jangan sampai jadi bumerang dikemudian hari.
Wolak-waliking zaman, siapa duga akan
muncul sosok “Ken Arok” versi Reformasi. Karena pelaku tipikor bukan penjahat
klas teri. Yang pasti bukan penjahat kambuhan. Karena dunia korupsi selalu
menampilkan pemain baru. Walau sebagai pendatang baru, tapi “ilmunya” tidak
bisa dianggap remeh. Mereka belajar dari para pendahulunya, para sesepuhnya.
Sedangkan ilmu hukum beranjak bak deret hitung, setapak
demi setapak. Bukan berarti telah beredar “Buku Pintar Korupsi”. Atau malah
menjadi syarat utama tak tertulis bagi anak bangsa yang mau terjun dan menekuni
bisnis ideologi.
Kompilasi, kolaborasi album koruptor, kalau disusun sudah mewakili
sebagian besar penyelenggara negara dan pemerintahan. Mewakili kasta, status,
strata sosial serta tak pandang bulu gender. [HaèN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar