antara Yogya
Kembali dan Kembalikan Jakarta-ku
Perjalanan sejarah bangsa dan negara Indonesia, pasca proklamasi
kemerdekaan RI 17 Agustus 1945, seolah tak pernah lepas dari mengusir penjajah
dengan segala bentuknya. Yang paling miris adalah menghadapi penjajahan oleh
bangsa sendiri.
Kendati pasal kemiskinan, kebodohan, keterbelakangan selalu menjadi musuh
bersama bangsa, namun dalam praktiknya kalah dengan demi tujuan dan sasaran
pembangunan nasional.
Tunggu dulu !!!
Kita masih ingat teka-teki misteri proses kehidupan, yaitu “lebih dahulu
mana ayam atau telurnya” di dunia ini.
Mana yang lebih dahulu antara Indonesia sebagai negara multi dan méga, sehingga terjadi lapisan-lapisan, strata, klas, golongan, peringkat
sosial, ekonomi, politik di masyarakat, penduduk atau warga negara, dengan
terjadinya bahwa hasil pembangunan
nasional dan/atau daerah tidak sesuai dengan asas trickle
down effect (dampak penetesan ke bawah).
Artinya, penerima manfaat nyata pembagunan didominasi oleh
lapisan atas, golongan superkaya, kelompok masyarakat berpenghasilan,
berpendapatan klas dunia, klas miliarder. Kalau terjadi few trickle down: (tetesan pendapatan ke lapisan bawah) tentu karena
aspek politis atau kejadian khusus di wilayah tersebut.
Teori ekonomi apapun dari pemikiran siapapun, tetap tidak bisa “memaafkan”
terjadi ketimpangan, kepincangan, kesenjangan atau istilah keren oleh Bappenas
adalah’ disparitas’atau ketidakmerataan pembangunan.
Memang terjadi bias, dualisme sejajarah Serangan Umum 1 Maret 1949, 6 jam
di Yogya. Karena pelaku sejarah ada yang ambisi politiknya sampai puncak dan
sisanya mengganggap perjuangan sebagai kewajiban anak bangsa. Terlebih menghadap
sisa penjajah bangsa asing, negara lain.
Bangsa Indonesia tersadar atau baru sadar, pasca pilkada DKI Jakarta putaran
kedua, Rabu 19 April 2019, Jakarta Merdeka dari penjajahan politik oleh bangsa
sendiri sebagai perpanjangan tangan negara paling bersahabat.
Bangsa Indonesia masih tetap waspada, tidak boleh lalai, lengah, teledor
menghadapi gonjang-ganjing politik sampai pesta demokrasi 2019. Jangan sampai
terjadi sesuai paribasan Baladéwa ilang gapité . Rakyat masih punya memori betapa gagah, digdayanya pihak bagian
penyelenggara negara atau pemerintah saat menghadapi aksi damai umat Islam.
Tanpa komando, banyak pihak siap pasang badan bela negara. Ini nama efek domino mégatransaksi politik.
Oknum presiden senior yang lantang lewat orasi menantang ayat-ayat langit.
Wajar kawan, karena politik sudah jadi agama baru. Lumrah kawan, karena ada
misi memerahkan sang Merah-Putih dengan merah-kiri. Belajar dari Korut, bahwa
sang pendiri negara berhak mewariskan kekuasaan sebagai presiden kepada anak
keturunannya.
Bukan tanpa akibat jika Indonesia dijuluki negara serba multi, sarat dengan méga atau bentuk sanjungan yang menjerumuskan. Rakyat berharapan jangan
sampai terjadi sesuai paribasan kebo ilang tombok kandhang. [HaèN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar