merekayasa pasal makar
vs menganulir kejahatan politik
Binatang seperti apa politik
itu. Watak perikebinatangan apa yang menonjol, bahkan dominan di dalam praktik politik.
Ternyata politik itu bisa memiliki dan memang multitafsir, multimakna,
multiarti. Kalau disedrehanakan, esensi dari politik berpatok pada suatu seni
perebutan kekuasaan secara konstitusional. Artinya, bagaimana kekuatan kekuasaan diperoleh,
dipertahankan, direbut kembali, sampai adegan gonjang-ganjing, gaduh, goyah, geger,
garang-garing, gempa, goro-goro dengan kemungkinan pembunuhan karakter secara
terencana.
Muncul fenomena : gejolak sosial, geger politik, gempa ekonomi, gaduh
hukum, gangguan keamanan dan aksi lainnya sebagai trade mark, ciri, karakter para pelakunya.
Praktik politik yang pernah terjadi di beberapa negara
menunjukkan tingkatan, strata, status atau modus operandi dari yang lunak, moderat
maupun sampai yang ekstrem. Makar masuk kaetgori apa, penulis sengaja tidak
menguraikannya. Karena memang bukan ahlinya, sebagai pemerhatai atau pengamat
pun juga tidak.
Efek domino dari : Gabungan Partai Politik adalah gabungan 2
(dua) Partai Politik atau lebih yang bersama-sama bersepakat mencalonkan 1
(satu) Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden (pasal 1 ayat 3, UU 42/2008
tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden), adalah munculnya koalisi. Kekuatan
pemerintah dinilai berdasarkan dukungan parlemen. Koalisi parpol pendukung
pemerintah identik dengan banyaknya anggota DPR dari parpolnya dibanding dengan
koalisi kutub lainnya.
Kita masih ingat, presiden Joko Widodo (Jokowi) tercatat
sebagai pemimpin terbaik atau paling unggul di antara para pemimpin
Asia-Australia pada tahun 2016 versi Bloomberg. Berdasarkan data atau penilaian
memiliki performa bahwa a.l Jokowi mampu mengendalikan dua per tiga kursi di
parlemen.
Kita tidak bisa menafikan apa jadinya jika terjadi kondisi atau fakta ékuilibrium. Yaitu
keseimbangan antara dua koaloso yang tampak berlawanan dalam keadaan seimbang,
sepandan.
Acap terjadi kebijakan
DPR diambil berdasarkan voting tertutup, karena kebijakan partai lewat fraksi
tidak otomatis jalan. Artinya, langkah yang diambil anggota DPR tidak sejalan
dengan kebijakan fraksi atau partainya.
Jadi, antara sosok Jokowi (sebagai presiden) dengan parlemen seperti dua kutub yang
berlawanan, bahkan siap saling menjegal dan saling menjagal. Bukan sama-sama
dalam kategori yang sama yaitu sebagai penyelenggara negara. Jangan dikaitkan
makar halus, berbingkai, terselubung, konstitusional dengan berbagai bentuk dan
aneka ragam kejahatan politik.
Kembali ke diri sendiri. Ternyata sekaliber apapun diri
kita, mau tak mau, adalah bagian
intergral, nyata dan terukur dari politik itu sendiri. Tentu kadarnya tidak sama.
Ada yang kadar atau sifatnya pasif, sebagai penonton sampai ada yang aktif.
Semua berpulang pada keadaan dan pilihan ybs. Politiklah yang mengendalikan
jalannya negara melalui sistem pemerintahan. Baik yang berdalih demokrasi tulen sampai
demokrasi katanya. Nasib penduduk sudah ditentukan berdasarkan komposisi hak
dan kewajibannya.
Jangan sampai penduduk alergi, antipati dengan yang
namanya politik. Terlebih jika menyimak tampilan dan tingkah laku oknum pegiat,
pelaku, penggila, pemain, pekerja partai yang muncul di media masa dan media
turunannya. Tak salah jika awak media atau anak bangsa yang melek teknologi, terjebak
dalam-dalam dengan semboyan bad news is good news.
Akhirnya kita masuk kuadran : saya tidak tahu kalau saya tidak tahu. [HaèN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar