Halaman

Minggu, 02 April 2017

merekayasa pasal makar vs menganulir kejahatan politik



merekayasa pasal makar vs menganulir kejahatan politik

Binatang seperti apa politik itu. Watak perikebinatangan apa yang menonjol, bahkan dominan di dalam praktik politik.

Ternyata politik itu bisa memiliki dan memang multitafsir, multimakna, multiarti. Kalau disedrehanakan, esensi dari politik berpatok pada suatu seni perebutan kekuasaan secara konstitusional. Artinya,  bagaimana kekuatan kekuasaan diperoleh, dipertahankan, direbut kembali, sampai adegan gonjang-ganjing, gaduh, goyah, geger, garang-garing, gempa, goro-goro dengan kemungkinan pembunuhan karakter secara terencana.  

Muncul fenomena : gejolak sosial, geger politik, gempa ekonomi, gaduh hukum, gangguan keamanan dan aksi lainnya sebagai trade mark, ciri, karakter para pelakunya.

Praktik politik yang pernah terjadi di beberapa negara menunjukkan tingkatan, strata, status atau modus operandi dari yang lunak, moderat maupun sampai yang ekstrem. Makar masuk kaetgori apa, penulis sengaja tidak menguraikannya. Karena memang bukan ahlinya, sebagai pemerhatai atau pengamat pun juga tidak.

Efek domino dari : Gabungan Partai Politik adalah gabungan 2 (dua) Partai Politik atau lebih yang bersama-sama bersepakat mencalonkan 1 (satu) Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden (pasal 1 ayat 3, UU 42/2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden), adalah munculnya koalisi. Kekuatan pemerintah dinilai berdasarkan dukungan parlemen. Koalisi parpol pendukung pemerintah identik dengan banyaknya anggota DPR dari parpolnya dibanding dengan koalisi kutub lainnya.

Kita masih ingat, presiden Joko Widodo (Jokowi) tercatat sebagai pemimpin terbaik atau paling unggul di antara para pemimpin Asia-Australia pada tahun 2016 versi Bloomberg. Berdasarkan data atau penilaian memiliki performa bahwa a.l Jokowi mampu mengendalikan dua per tiga kursi di parlemen.

Kita tidak bisa menafikan apa jadinya jika terjadi kondisi atau fakta ékuilibrium. Yaitu keseimbangan antara dua koaloso yang tampak berlawanan dalam keadaan seimbang, sepandan.

Acap terjadi kebijakan DPR diambil berdasarkan voting tertutup, karena kebijakan partai lewat fraksi tidak otomatis jalan. Artinya, langkah yang diambil anggota DPR tidak sejalan dengan kebijakan fraksi atau partainya.

Jadi, antara sosok Jokowi (sebagai presiden)  dengan parlemen seperti dua kutub yang berlawanan, bahkan siap saling menjegal dan saling menjagal. Bukan sama-sama dalam kategori yang sama yaitu sebagai penyelenggara negara. Jangan dikaitkan makar halus, berbingkai, terselubung, konstitusional dengan berbagai bentuk dan aneka ragam kejahatan politik.

Kembali ke diri sendiri. Ternyata sekaliber apapun diri kita, mau tak mau,  adalah bagian intergral, nyata dan terukur dari politik itu sendiri. Tentu kadarnya tidak sama. Ada yang kadar atau sifatnya pasif, sebagai penonton sampai ada yang aktif. Semua berpulang pada keadaan dan pilihan ybs. Politiklah yang mengendalikan jalannya negara melalui sistem pemerintahan.  Baik yang berdalih demokrasi tulen sampai demokrasi katanya. Nasib penduduk sudah ditentukan berdasarkan komposisi hak dan kewajibannya.

Jangan sampai penduduk alergi, antipati dengan yang namanya politik. Terlebih jika menyimak tampilan dan tingkah laku oknum pegiat, pelaku, penggila, pemain, pekerja partai yang muncul di media masa dan media turunannya. Tak salah jika awak media atau anak bangsa yang melek teknologi, terjebak dalam-dalam dengan semboyan bad news is good news.

Akhirnya kita masuk kuadran : saya tidak tahu kalau saya tidak tahu. [HaèN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar