praktik sistem
pemerintahan dan pola demokrasi tergantung politik uang
Pemilihan presiden di negara adidaya Amerika Serikat membuktikan kalau pengalaman
politik, pernah menjadi bagian dari pemerintah, bukan jaminan untuk sukses dan
memang. Ide kontroversial yang tidak lazam, beda dengan jargon masa depan bangsa
dan negaranya, menjadi daya tarik tersendiri. Kekuatan utama sang kandidat
justru pada politik uang. Bebas bermanuver di celah-celah pilar formal negara.
Ada apa dengan Nusantara pasca bergulirnya reformasi yang mulai dari puncak
suksesnya, 21 Mei 1998, dengan me-lengserkeprabon-kan presiden kedua RI. Apakah akumulasi dosa politik Orla+Orba muncul dan
mendominasi gerakan politik. Tepatnya, apakah pemerintah periuode 2014-2019
akan mengulang akumulasi dosa politik dimaksud tadi, secara lebih heroik, patriotik
dan dengan mental tidak siap sukses, tidak siap menang.
Tak salah ujar/tulisan seorang pakar jika di masa Orde Baru, pusat kekuasaan berada sepenuhnya di tangan
Presiden, maka sekarang pusat kekuasaan itu dianggap telah beralih ke DPR.
Sebagai akibat pendulum perubahan dari sistem yang sebelumnya memperlihatkan
gejala “executive heavy”, sekarang sebaliknya timbul gejala “legislative
heavy” dalam setiap urusan pemerintahan yang berkaitan dengan fungsi
parlemen.
Peradaban politik
Nuantara selain didominasi politik dinasti juga tergantung investor politik
mancanegara.
Sistem kedaulatan
rakyat atau demokrasi yang ada ditentukan oleh suara terbanyak dalam pemilahan
umum legislatif, pilkada dan pilkara atau pilpres. Semua bisa berjalan karena
kekuatan uang. Sinerji biaya kedaulatan rakyat maupun demokrasi menjadi biaya
politik. Argo biaya politik kawanan parpolis Nusantara tidak pernah berhenti.
Bursa mégakorupsi KTP-elek malah mengundang firasat politik
Nusantara, mulai sebagai hal klasik yaitu pengalihan isu. Ironisnya malah
menjurus hukum melegalkan mégakorupsi dengan syarat utama asal pelakunya mewakili
semua unsur subyek tipikor. Korupsi konstutusional.[HaèN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar