Halaman

Selasa, 18 April 2017

Indonesia terjebak politik rétrofilia




Indonesia terjebak politik rétrofilia

Konon, Pancasila memberi ruang dan waktu keseimbangan antara kebutuhan, kepentingan, keperluan orang perseorangan, individu, pribadi dengan kebutuhan, kepentingan, keperluan komunitas, masyarakat, bangsa.

Pasal 28E ayat (3) UUD NRI 1945 Perubahahn Kedua, menetapkan, “Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat”. Bebas sesuai kode etik berbangsa dan bernegara, dalam bentuk “di kandang kambing,  mengembik – di kandang kuda, meringkik”. Nada embikan dan ringkikan yang akan disuarakan, digemakan, sudah ada pakem yang harus diikuti dengan seksama. Tidak boleh bebas berekspresi, berimprovisasi atau malah adu keras, adu nyaring, adu lantang. Biar “didengar” penguasa yang sedang menikmati kemegahan kursi kekuasaan.

Sejarah membuktikan kalau potensi konflik justru pemacu dan pemicunya adalah dari kebebasan orang penyelenggara negara mengeluarkan pendapat. Baik cara maupun substansi mengeluarkan pendapat merupakan korelasi positif dari budi peekrti, akhlak, karakter kemanusiaannya.

Politisi yang baik dan benar memang seolah tak pernah kehabisan akal, kekurangan akal, maupun tak akan mati gaya. Seperti pembanyol, walau sudah sekaliber apapun, kalau lawakannya garing, pakai rencana cadangan.

Peradaban ideologi atau paham politik berkemajuan versi Nusantara, yang dipraktikkan juara umum pesta demokrasi yang tidak pernah siap menang, adalah dengan mendaur ulang atau memakai pola “nabok nyilih tangan vs mikir nyilih utek”. Tepatnya kawan, adalah dengan dengan memakai  referensi model pengelolaan sampah yang mengedepankan paradigma 3R (Reuse, Reduce, Recycle).

Jangan terpana dengan partai politik yang menganut ideologi tertutup, seolah ekslusif, pilihan, istimewa. Justru selain hak prerogatif oknum ketua umum, diperparah dengan gagasan politik merupakan hasil karya segelimtir elit parpol. Kebijakan partai, restu sang ketua menjadi harga mati. Tidak bisa ditawar, apalagi diganggu gugat. Pola kepemmpinan parpol bukan secara kolektif dan kelogial. Tetapi berada di satu tangan, satu komando. 

Mending kalau gagasan politik bak menu rumah makan Padang, restoran cepat saji, menu sistem paket atau model warteg yang sesuai dengan kantong dan selera rakyat. Yang disajikan seolah heroik, patriotik, fantastik, pancasilais banget. Tentunya bukan terjemahan atau saduran dari menu asing. Khususnya pesanan khusus dari investor politik asing, aneh, ajaib. [HaèN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar